Minggu, 27 September 2015

Praktek Bisnis yang Manusiawi

Kita memang sering lebih mudah melihat dan mengingat tindakan-tindakan yang keliru daripada tindakan-tindakan yang benar. Hal itu juga terjadi ketika kita menyoroti praktek-praktek bisnis. Kenyataannya, sangat banyak praktekbisnis yang bermanfaat bagi banyak orang baik secara internal maupun eksternal organisasi.

Bahan Diskusi:

Berilah contoh praktek bisnis yang sangat manusiawi yang pernah Saudara dengar, baca, atau bahkan alami sendiri. Silahkan mencantumkan nama organisasi yang mempraktekkannya. Sebab, salah satu tuntutan etis bagi kita untuk ikut menyebarkan sisi-sisi positif dari organisasi bisnis yang ada. Selamat berdiskusi...


MOHON PERHATIAN:
Khusus untuk postingan ini, Kelas A dan Kelas B harus memberi contoh praktek bisnis dan setelah itu bisa menanggapi contoh dari teman-teman yang lain

Sabtu, 19 September 2015

Ingin Menjadi Eksportir Hasil Bumi



Bapak Yulius memiliki bisnis yang terletak di Tadulako Sulawesi Tengah. Bisnisnya berjalan lancar dan dia punya keinginan untuk menjadi eksportir hasil bumi.

Dari perspektif pengelolaan SDM, apakah yang dapat Saudara sarankan kepada bapak Yulius agar apa yang dia cita-citakan dapat terwujud? Apa ada konsekuensi tertentu pada pengelolaan SDM jika bapak Yulius telah berhasil menjadi eksportir?

Silahkan lihat blog kuraberbisnis.blogspot.com pada postingan saya tanggal 12 November 2013 yang berjudul: “Ingin Menjadi Eksportir Hasil Bumi”.
Perhatian: Komentar Saudara langsung pada blog tersebut, jangan pada blog ini. Terima Kasih

Kamis, 17 September 2015

Organisasi Bisnis Yang Manusiawi (Julius Runtu) *)

 

Ketika saya melanjutkan studi magister ke Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, saya diharuskan untuk mengambil program matrikulasi 3 semester yang mana 2 semester harus saya tempuh bersama-sama dengan mahasiswa S-1.Jadilah saya mahasiswa paling tua di kelas yang saya ikuti.Seorang dosen manajemen keuangan terheran-heran melihat saya masuk di kelasnya.Dia lebih tercengang lagi ketika tahu bahwa saya sebelumnya studi S-1 di bidang Filsafat. Akan tetapi saya balik tercengang ketika dia berkomentar: “S-1 Filsafat? Mengapa kamu begitu konyol, sudah enak-enakan di surga, kok mau menyeberang ke neraka?Menurut beliau, filsafat lebih memudahkan seseorang ke surga sebaliknya bisnis lebih mendekatkan seseorang ke neraka.Meskipun semua yang di dalam kelas tertawa (kecuali saya tentunya) tapi tampaknya mereka setuju dengan pernyataan professor keuangan tersebut.Mengapa orang berpendapat bahwa bisnis lebih cenderung membuat pelaku bisnis “mendekat” ke neraka?Apa yang terjadi dalam bisnis sehingga memunculkan penilaian sinis tersebut? Tulisan ini akan mencoba menyoroti sebagian persoalan yang ada dan membahasnya dalam perspektif filsafat. Pembahasan dari perspektif filsafatakan didasarkan terutama pada tulisan Prof. Dr. Armada Riyanto CM dalam berbagai buku yang telah dipublikasikan beliau.

Persaingan Kejam dalam Bisnis

Prinsip scarcity merupakan salah satu asumsi dasar dalam ilmu ekonomi.Prinsip kelangkaan ini terkait dengan sumber daya yang dibutuhkan manusia.Sumber daya itu terbatas sehingga harus dikelola dengan baik dan bahkan “harus diperebutkan”.Selanjutnya muncul kata ajaib “kompetisi” atau “persaingan”.Persaingan telah mendorong organisasi untuk lebih kreatif, inovatif, efektif dan efisien untuk dapat memenangkan persaingan.Sayangnya, tidak semua organisasi menempuh persaingan yang sehat. Selalu ada godaan bagi organisasi yang memiliki “kelebihan” tertentu (misalnya modal) untuk berupaya “mengalahkan” pesaingnya dengan berbagai cara. Upaya monopoli merupakan salah satu upaya yang dilakukan. Dan untuk bisa menerapkan monopoli, suatu organisasi harus “mematikan” organisasi lain yang bergerak di bidang yang sama. Hal itu dilakukan secara halus antara lain dengan menerapkan strategi “predatory price” yang mana perusahaan yang memilliki modal besar menjual produknya di bawah harga pokok produksi (jual rugi) sehingga pesaingnya yang memiliki modal lebih sedikit tidak akan sanggup “meladeninya”. Ketika pesaing telah gulung tikar, organisasi tersebut dapat dengan seenaknya menentukan harga karena dia satu-satunya pemain di bidang itu.
Praktek-praktek tersebut (dengan cara yang lebih halus) masih tetap terjadi. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) masih tetap menerima banyak laporan terkait praktek persaingan yang tidak sehat.Salah satu peritel nasional yang besar sempat diajukkan ke pengadilan oleh para pemasok karena menerapkan uang jaminan untuk pasokan barang dengan harga termurah. Jadi, ketika peritel tersebut menemukan pemasok lain yang lebih murah dari pemasok yang dia miliki, maka uang jaminan si pemasok otomatis hangus. Kebijakan ini sungguh sangat tidak fair karena harga produk bisa berubah sewaktu-waktu bahkan dapat dipermainkan oleh pihak-pihak lain yang tidak bertanggungjawab.Untunglah pengadilan memenangkan gugatan para pemasok sehingga si peritel harus mengganti kerugian para pemasok akibat kebijakan si peritel tersebut.
Selain pendekatan hukum, persaingan tidak sehat itu dapat juga dicegah dengan pendekatan yang lebih mendasar yaitu kesadaran para pebisnis. Meskipun dosen manajemen perubahan saya di UGM merasa bahwa dia dianggap “nyeleneh” oleh rekan sejawatnya, ada argumentasinya tentang bisnis yang sampai saat ini membekas dalam diri saya.Dia hendak menggugurkan asumsi dasar ilmu ekonomi yaitu prinsip scarcity.Menurut beliau, sumber daya itu tidak terbatas.Persoalannya hanya terletak pada ketidakmampuan dan keengganan dalam menemukan alternative sumber daya yang dianggap terbatas tersebut.Konsekuensinya, persaingan itu tidak perlu.Oleh karena itu dia mengusulkan agar “competition” diganti dengan “complementation”. Dengan saling melengkapi, para pebisnis akan mendapatkan berbagai alternative sumber daya yang tidak terbatas.

Eksploitasi atas pekerja

Adalah suatu pemandangan yang biasa di Negara ini untuk menyaksikan demo ribuan buruh setiap mendekati akhir tahun. Sebab pada saat itu, pemerintah bersama pengusaha dan perwakilan buruh akan menetapkan upah minimum untuk tahun berikutnya. Mengapa persoalan ini selalu terulang?Dalam teori ekonomi dikenal istilah 4 M yaitu Man, Machine, Money, dan Methods sebagai penentu factor produksi yang harus dikelola seefektif dan seefisien mungkin agar produktifitas dapat ditingkatkan.Efektif terkait dengan ketepatan untuk mencapai tujuan sedangkan efisien terkait dengan biaya yang dikeluarkan untuk itu.Tidak mengherankan bahwa banyak pebisnis yang sering tergoda untuk mengejar efisiensi (konsekuensinya jelas yaitu pengurangan biaya) untuk keempat factor tersebut termasuk manusia (yang umumnya diwakili kaum buruh). Mereka lupa bahwa sejak jaman revolusi industry, Robert Owen (dalam Wren & Bedeian, 2009: 61-66) telah mengingatkan pentingnya “invest to vital machine” yaitu pekerja jika perusahaan ingin meningkatkan produktifitas.Di Negara ini, kaum buruh harus memacetkan jalan-jalan protocol di kota-kota besar berhari-hari serta berhadapan dengan pentungan petugas keamanan hanya untuk memperjuangkan hak “minimum” mereka.Ketika batas minimum itu sudah ditetapkan, masih ada perusahaan yang sengaja mengakali pengaturan jam kerja sehingga tidak memenuhi asumsi minimum jam kerja yang disyaratkan agar berhak atas standar minimum yang diatur undang-undang.
Menurut Locke (dalam Riyanto, 2013: 121) perbudakan berhenti ketika kerja manusia memungkinkan hidupnya semakin baik.Ketika ada anggota organisasi yang menganggap bahwa gaji tidak sesuai dengan kebutuhan hidupnya tetapi organisasi tidak melakukan perbaikan system (padahal dia mampu) bahkan balik meminta si anggota untuk meninggalkan saja organisasi tersebut jika merasa tidak cocok, bukankah hal itu merupakan bentuk perbudakan baru?
George Luckas (dalam Riyanto, 2013:123) mengemukakan bahwa hal terpenting dalam kerja adalah relasi manusiawi. Ketika bekerja, manusia tidak sekedar menghasilkan sesuatu melainkan ia juga sedang mengkomunikasikan dirinya. Hal itu berdampak pada pentingnya reaksi rekan sekerja dan organisasi terhadap kerja seseorang.Sebab, reaksi tersebut tidak sekedar reaksi terhadap hasil pekerjaannya tapi merupakan reaksi terhadap diri orang tersebut. Alangkah sulitnya untuk menerima bahwa penilaian yang kurang terhadap pekerjaan seseorang akan berhenti pada hasil pekerjaan itu tanpa terus “menohok” sampai ke harga diri orang yang melakukan pekerjaan itu. Akibatnya, organisasi harus mempunyai system penilaian yang fair dan bisa dipertanggungjawabkan. Jika tidak, organisasi akan membunuh secara perlahan-lahan anggotanya setiap siklus penilaian kinerja itu dilakukan. Atau sebaliknya, organisasi akan meninabobokan anggotanya dengan harga diri semu ketika system penilaian ala kadarnya (formalitas) diadopsi dalam organisasi tersebut.
Untunglah banyak buruh yang tidak tahu bagaimana peraturan perlakuan atas factor produksi tersebut dalam pencatatan keuangan perusahaan. Biaya untuk pembelian mesin atau asset berwujud lainnya diperlakukan berbeda. Andai saya manajer dan tahun ini saya membeli mesin seharga 50 juta maka dampak keputusan saya masih terasa secara eksplisit pada laporan keuangan sampai beberapa tahun kemudian karena asset tersebut akan dibagi 5 tahun (jika penyusutannya misalnya 5 tahun) sehingga setiap tahun saya bisa mengurangkan masing-masing 10 juta pada laba kotor sebagai biaya penyusutan sampai tahun kelima ketika nilai buku mesin yang saya beli itu sudah dianggap nol. Filosofi di balik biaya penyusutan ini adalah  ketika tahun kelima saya sudah harus membeli mesin baru, saya sudah memiliki dana untuk itu serta nilai mesin tersebut semakin lama semakin berkurang sampai suatu saat tidak mempunyai nilai lagi bagi perusahaan. Sayangnya, hal itu tidak berlaku bagi pengeluaran yang terkait SDM.Semua pengeluaran terkait SDM selalu diperlakukan sebagai biaya.Investasi pada SDM hanya sekedar ungkapan pemanis tanpa dikonkritkan dalam pencatatan keuangan perusahaan.Akibatnya, banyak manajer yang lebih memilih melakukan investasi pada asset berwujud dibandingkan pada yang tidak berwujud yaitu SDM.Mesin dan asset berwujud lainnya diperlakukan lebih “manusiawi” (karena disadari dan diantisipasi “keausannya”) dibandingkan manusia itu sendiri.

Saling Menjatuhkan dalam Organisasi

Persaingan dalam bisnis tidak hanya terjadi antara organisasi dengan organisasi lain. Persaingan juga terjadi di dalam lingkungan organisasi. Tuntutan akan kinerja yang tinggi dengan reward yang tinggi pula memang berdampak pada peningkatan produktifitas perusahaan. Di sisi lain hal tersebut membuat anggota organisasi terjerumus pada orientasi akan hasil. Proses untuk mencapai tujuan sering diabaikan karena yang dipentingkan adalah pencapaian target. Segala cara dihalalkan (misalnya, merebut klien dari rekan kerja, menahan informasi tertentu, dan lain-lain) demi mencapai tujuan. Akibatnya, ketidakpercayaan mewarnai hubungan anggota organisasi.
Gap kompensasi yang terlalu tinggi antar  posisi yang ada dalam organisasi juga berdampak pada upaya “saling jegal” untuk memperebutkan posisi yang lebih “basah”. Pada kondisi ini muncul para oportunis dan “penjilat” yang membuat sikap saling percaya bergerak ke titik nadir.Ungkapan Sartre mungkin agak mewakili gambaran yang umum yang terjadi dalam berbagai relasi tersebut.Sesama (rekan kerja) adalah neraka bagi eksistensi/keberadaan saya.Semua relasi yang terjalin tampak hanya relasi transaksional atau dengan ungkapan yang lebih kasar dapat disebut sebagai relasi “saling memanfaatkan”.Sesama hanya dilihat sebagai “yang sejauhmana barmanfaat bagi saya”.Tanpa bermanfaat, dia tidak ada dalam relasi saya.
Padahal, relasi yang didasarkan pada transaksi akan berumur pendek yaitu sejauh manfaat masih dapat diidentifikasi pada relasi tersebut. Relasi ini tidak mencerminkan martabat manusia.Memberi bukan suatu transaksi karena jika demikian maka tindakan itu selesai pada saat itu (Riyanto, 2013:109). Memberi merupakan penyeberangan dari kepentingan pribadi ke kepentingan orang lain. Memberi memungkinkan  saya  semakin menjadi manusiawi.
Hal lain yang muncul dari kondisi tersebut di atas adalah sikap saling curiga.Semua rekan kerja dapat saja menjadi “musuh dalam selimut” yang sewaktu-waktu dapat menikam dari belakang.Atau menjadi penjilat yang selalu memata-matai kinerja seseorang dan melaporkan ke atasan ketika ada yang tidak beres.Curiga memungkinkan relasi manusia pada pinggiran ketulusan.Tidak ada kedalaman hubungan personal bila curiga datang dan menghantui (Riyanto, 2013:175).Curiga tidak semata-mata perasaan tapi mengindikasikan pengetahuan tertentu.Pengetahuan tersebut belum sempurna. Oleh karena itu, untuk mengatasi kecurigaan maka perlu pencarian akan pengetahuan yang sempurna atau pengetahuan yang sebenarnya. Akan tetapi sebelum menemukannya, curiga yang berkembang dalam organisasi itu telah merusak sendi-sendi relasi manusiawi dalam organisasi tersebut.




Menuju Organisasi Bisnis yang Lebih Manusiawi

Upaya mendasar untuk membuat organisasi bisnis menjadi lebih manusiawi adalah dengan mengupayakan keadilan dalam organisasi tersebut. Keadilan itu penting dalam konteks ekonomi dan bisnis karena keadilan tidak pernah sebatas perasaan atau sikap batin saja tapi menyangkut kepentingan atau barang yang dimiliki atau dituntut oleh  berbagai pihak (Bertens, 2000:85). Apalagi, adil merupakan satu kodrat perbuatan manusia  yang menunjukkan keterarahan pada orang lain. Dengan demikian, adil merupakan keutamaan seseorang yang tertuju kepada orang lain (Riyanto, 2013: 74)
Gejolak yang sering muncul dalam relasi berorganisasi adalah perlakuan yang tidak adil baik oleh system maupun individu (rekan dan pimpinan) terhadap individu lain. Terkait dengan system, banyak individu yang melihat kebijakan yang diambil oleh organisasi,  lebih menguntungkan pihak tertentu (umumnya terkait mereka yang ada pada sumbu kekuasaan dan mereka yang ada di sekitar sumbu tersebut). Kebijakan tersebut antara lain tidak ada kesetaraan dalam akses sumber daya organisasi seperti fasilitas serta peluang untuk pengembangan karir.
Hal yang paling menonjol adalah kebijakan penggajian.Gap yang terlalu tinggi antara karyawan yang terendah dan pimpinan tertinggi masih sangat besar di Negara kita.Gelombang demonstrasi tahunan hanya demi memperjuangkan gaji minimum menunjukkan jauhnya kesejahteraan bagi sebagian besar pekerja. Padahal, sistem kerja yang benar adalah system yang memungkinkan konservasi manusia di masa depan. Kerja dengan gaji yang diterima tidak boleh disempitkan pada kebutuhan saat ini. Kerja juga harus menjadi jaminan bahwa manusia bisa hidup di masa depan, justru ketika dirinya tidak lagi bisa melakukan banyak karena energy sudah habis (Riyanto, 2013:123). Dengan demikian, setiap orang yang bekerja berhak atas masa depan yang layak dan manusiawi.
Persoalan ketidakadilan antar individu sering dipicu oleh ketidakmampuan pimpinan dalam mengelola organisasi.Plato (dalam Small, 2008) mengemukakan seorang yang menjadi pemimpin adalah "raja yang filsuf" yang telah disiapkan melalui berbagai tahapan pendidikan persiapan untuk tempat akhirnya mereka di masyarakat. Remaja putra akan belajar berbagai literatur (dikenakan penyensoran), dan pengetahuan militer, musik dan matematika. Pada usia 20 mereka akan menjalani pelatihan lanjutan dalam matematika, pada usia 30 mereka akan mempelajari dialektika dan filsafat moral, diikuti oleh 15 tahun pengalaman praktis. Sekitar usia 50, mereka mungkin cocok untuk mencapai tingkat tertinggi pengetahuan, yaitu visi "baik". Hal itu menyiratkan bahwa pemimpin haruslah seseorang yang memiliki kompetensi dan disiapkan melalui proses suksesi yang jelas. Pada banyak organisasi bisnis, kedekatan karena factor keluarga atau factor lain yang tidak terkait dengan kompetensinya masih banyak mewarnai proses suksesi yang terjadi.
            Pemimpin yang kompeten akan lebih cenderung menjadi pemimpin yang transformasional, mau memberdayakan bawahan ke level kinerja yang lebih baik. Pemimpin kompeten akan mampu memberi pengharapan pada bawahannya akan kehidupan yang lebih baik. Pengharapan memungkinkan  manusia makin memanusiawi, bahkan bila dirinya sudah berada di pinggiran kehidupannya (Riyanto, 2013:173). Dengan demikian, pemimpin kompeten yang dapat memberi pengharapan kepada bawahannya, merupakan pemimpin yang memungkinkan bawahannya untuk makin manusiawi.
Sebaliknya pemimpin yang kurang kompeten akan cenderung mengandalkan otoritas formal yang dimiliki (SK atau Surat Tugas} dalam melaksanakan fungsi kepemimpinannya. Mereka cenderung jatuh dalam sikap otoriter atau sikap “cuci tangan” dengan berlindung pada aturan yang pada konteks atau situasi dan kondisi tertentu harus ditafsirkan dengan cara yang berbeda. “Saya hanya menjalankan tugas” atau “aturan yang ada memang demikian” merupakan ungkapan-ungkapan “putus asa” dari mereka yang sebenarnya kurang kompeten tapi diserahi tanggung jawab tertentu. Tidak mengherankan kalau kita menemukan pimpinan yang telah mengambil kebijakan yang salah bahkan merugikan organisasi yang sama sekali tidak mencerminkan ekspresi penyesalan atas apa yang telah dilakukannya. Apakah banalitas juga mewarnai bisnis?Banalitas merupakan kekerasan tapi pelakunya tidak melakukan tindakan irasional tapi rasional sehingga memunculkan perasaan kebanggaan bukan penyesalan bagi si pelaku (bdk. Riyanto, 2013:96). Pelaku bahkan merasa berjasa karena telah melakukan hukum yang berlaku.Ketika kesadaran direduksi pada aturan, maka pertimbangan baik dan buruk semata didasarkan pada hukum atau aturan yang ada.
            Lalu, apakah keadilan mungkin diwujudkan dalam lingkup bisnis dan bagaimana kita mengetahui kalau keadilan telah terlaksana dalam suatu bisnis?Jawabannya adalah ketika setiap orang melakukan apa yang menjadi tanggung jawabnya maka disitulah tercipta keadilan (bdk. Riyanto, 2013: 80). Dengan adanya keadilan dalam bisnis maka organisasi bisnis akan semakin manusiawi. Sebab, dengan adanya tatanan yang adil maka kehidupan dan keluhuran martabat setiap manusia dibela dan dimuliakan ( Riyanto, 2013:81).

Penutup
Bisnis sering menampakkan “wajahnya” yang tidak manusiawi bahkan mengarahkan dan atau menjadi “neraka” bagi individu-individu yang terlibat di dalamnya.Akan tetapi, wajah tersebut bukan bagian hakiki dalam bisnis. Dengan mengupayakan keadilan, tatanan bisnis pun dapat menjadi tatanan dengan system kerja yang memenuhi pemuliaan keluhuran manusia. Dalam tatanan yang sedemikian, individu dapat menemukan damai (“surga”?).Damai adalah yang dengannya orang lain mendapatkan penghormatan martabatnya. Damai terjadi ketika tidak ada dominasi terhadap yang lain. Situasi dan kondisi “win-win” bukan “win-lose.”Damai tercipta dalam tata relasi, hubungan setara antar mereka yang berelasi (bdk. Riyanto, 2013:91-92). Itulah harapan akan bisnis yang manusiawi, suatu harapan yang masih perlu perjuangan yang panjang tapi merupakan suatu harapan yang perwujudannya sangat bernilai sehingga sangat pantas untuk terus diperjuangkan.


=o0o=

Daftar Pustaka

Bertens, K. 2000. Pengantar Etika Bisnis. Yogjakarta: Kanisius
Riyanto, Armada, Marcellius Ari Christy, Paulus Puyung Widodo. 2011. Aku & Liyan: Kata Filsafat dan Sayap. Malang: STFT Widya Sasana.
Riyanto, Armada. 2013. Menjadi-Mencintai: Berfilsafat Teologis Sehari-hari. Yogjakarta: Kanisius
----------------------. 2014. Katolisitas Dialogal: Ajaran Sosial Katolik. Yogjakarta: Kanisius
Small, Michael W. 2004.Philosophy in Management: A new trend in management development. The Journal of Management Development, Vol. 23 (2): 183-196.
Wren, Daniel A. & Arthur G. Bedeian. 2009. The Evolution of Management Thought. New York: John Wiley and Sons, Inc.


*)Tulisan ini merupakan bentuk nyata eksistensi saya karena dengan ini saya berpikir. Ketika saya tidak bertanya dan mempertanyakan, tidak pernah sangsi akan apapun, menerima benar begitu saja, maka ketika itu saya tidak berpikir (Riyanto, 2013: 17). Descartes akan menyebut saya tidak memanusaiwi dan tidak “mengada”.
*)Tulisan ini juga merupakan salah satu tugas dalam mata kuliah Filsafat yang diampu oleh Prof. Dr. Armada Riyanto CM pada Program Doktor Ilmu Manajemen UKWMS

Bahan Diskusi:

Setelah Saudara membaca tulisan di atas, bagian atau konsep manakah yang menarik atau justru yang membingungkan? Selamat berdiskusi

 MOHON PERHATIAN:
Meskipun tanggal 24 September 2015 tidak ada perkuliahan (hari raya), postingan baru tetap akan   saya   berikan sekitar tanggal tersebut. Terima Kasih

Sabtu, 12 September 2015

Ketika yang Fair itu Belum Tentu Adil



Bahan Bacaan:

Gilmeanu, Raluca. 2015. Theoretical considerations on motivation and work place, job satisfaction and individual performance. Valahian Journal of Economic Studies, Vol. 6(3): 69-80.

Gilmeanu (2015) berupaya untuk menjelaskan hubungan antar variabel motivasi, lingkungan kerja, kepuasan kerja dan kinerja individu. Berdasarkan literature yang ada, peneliti menyimpulkan bahwa hubungan antar variabel di atas tidak selalu konsisten sehingga harus ditafsirkan/diinterpretasi sesuai kondisi yang ada atau sedang berkembang.
Hal menarik dalam tulisan Gilmeanu (2015) antara lain adanya rumusan tentang tiga bentuk ungkapan/ekspresi terkait kinerja individu. Dengan kata lain, kinerja individu dapat tampak/kelihatan dalam 3 bentuk, yaitu:

  1. Produktivitas: rasio antara input dan output suatu aktivitas, misalnya jam kerja yang digunakan adalah input sedangkan jumlah produk yang dihasilkan adalah output.
  2. Inovasi: Cara untuk meraih kesuksesan bisa berupa metode baru dalam mengeksekusi aktivitas bisnis maupun produk atau layanan yang baru.
  3. Loyalitas: total dedikasi dan kepercayaan individu pada organisasi.
Dengan demikian, apabila menginginkan pemahaman lebih menyeluruh (komprehensif) tentang kinerja individual maka ketiga bentuk tersebut harus diukur atau dianalisis bersama-sama. Kesadaran itu perlu dimiliki karena kecenderungan untuk melihat kinerja individual dalam satu bentuk saja sebagaimana akan kita lakukan juga pada diskusi ini.

Bahan Diskusi:

Andai Saudara adalah Manajer HRD:

  • Manakah dari 3 bentuk kinerja individual tersebut yang paling penting? Mengapa?
  • Apa yang akan Saudara lakukan agar individu di bawah koordinasi Saudara itu dapat memiliki bentuk kinerja seperti yang Saudara pilih pada poin pertama?

Kamis, 10 September 2015

Sulit Mendapatkan Karyawan Baru



Bapak Tugiran sudah mengeluti bisnis reparasi selama belasan tahun. Akan tetapi, bapak Tugiran masih merasa kesulitan dalam merekrut karyawan baru.
Dari perspektif pengelolaan SDM, apakah yang dapat Saudara sarankan kepada bapak Tugiran agar dia dapat mengatasi kesulitan dalam perekrutan karyawan baru?

Silahkan lihat blog kuraberbisnis.blogspot.com pada postingan saya tanggal 16 November 2013 yang berjudul: “Tak Ada yang Tertarik Mempelajari Keahlian Saya”.

Perhatian: Komentar Saudara langsung pada blog tersebut, jangan pada blog ini. Terima Kasih

Sabtu, 05 September 2015

Ketika Profit Menjadi Pedang Bermata Dua



        Tujuan bisnis adalah mendapatkan profit. Pebisnis akan menjadikan profit sebagai dasar pertimbangan untuk setiap keputusan bisnisnya. Dengan adanya profit maka pebisnis akan menemukan manfaat dari aktivitas yang dilakukannya. Jika tidak menemukan manfaat, tentu saja dia tidak akan melanjutkan aktivitas tersebut.
Tidak bisa disangkal bahwa motivasi pertama suatu bisnis adalah mendatangkan manfaat bagi si pelaku bisnis itu sendiri. Pada perkembangannya diharapkan bisnis dapat memberikan manfaat bagi seluruh stakeholdernya tidak terbatas pada stockholder (pemilik) bisnis itu semata.

        Aliran atau paham dalam etika bisnis yang menjadikan “manfaat” sebagai dasar dalam pengambilan keputusan bisnis adalah Utilitarianisme. Aliran ini menilai suatu perbuatan itu sebagai perbuatan baik sejauh perbuatan itu bermanfaat. Hal itu mudah dilaksanakan ketika hasil perbuatan itu memang bermanfaat bagi semua yang terdampak dari perbuatan itu. Akan tetapi dalam kehidupan konkrit lebih khususnya dalam aktivitas bisnis, keputusan yang membawa manfaat dapat juga membawa kerugian kepada pihak lain.

      Berikanlah contoh keputusan bisnis yang berlandaskan prinsip Utilitarianisme tapi menurut Saudara menimbulkan dilemma etis karena berdampak buruk bagi yang lain. Bagaimana jalan keluar terbaik menurut Saudara untuk persoalan yang Saudara contohkan tersebut.
Selamat Berdiskusi…..