Rabu, 26 Februari 2014

Indikator Loyalitas Karyawan (Bahan Diskusi V MSDM II)



Whistleblowing Sebagai Ungkapan Loyalitas Karyawan: Peran Employability dan Keberanian Moral Karyawan
(JULIUS RUNTU)
Artikel ini dipresentasikan pada Konferensi Nasional Ke-6 Fakultas Bisnis UKWMS tahun 2013

Abstract
Disclosure of unethical and illegal practices performed by employees of a company itself (whistleblowing) not only has the potential to cause problems but also has managerial ethical issues. Debate about the practice of whistleblowing is often associated with obligations towards employees loyal to the company and have produced a different view. Certain parties see contradiction between the practice of whistleblowing and employee loyalty while others assume that there is no contradiction between the two. In this paper, the author discusses the fact that in certain cases the practice of whistleblowing is not only not contrary to employee loyalty but is even a manifestation of loyalty. In other words, without doing whistleblowing, the employee actually harms loyalty to the organization. Level of employability and moral courage are important to perform or not perform the practice of whistleblowing.
Key Words: Whistleblowing, Employee Loyalty, Employability, Moral Courage

Pendahuluan
Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor penting dalam bisnis. Meskipun sebagian besar pekerjaan dalam suatu organisasi telah diambil alih oleh teknologi, peran sumber daya manusia  tidak mungkin tergantikan. Tuntutan persaingan dalam bisnis yang semakin tinggi membuat organisasi harus memiliki keunggulan dibanding dengan pesaing. Apabila organisasi hanya mengandalkan keunggulan bidang teknologi, organisasi akan dengan mudah ditiru atau bahkan dilampaui oleh pesaing. Sebab, teknologi adalah sesuatu yang dapat dengan mudah diperoleh dan diadaptasi. Dengan demikian, keunggulan kompetitif justru lebih banyak ditentukan oleh sumber daya manusia. Sumber daya manusia tersebut adalah mereka yang kreatif, inovatif dan konsisten pada produk barang atau jasa yang berkualitas. Permasalahannya, output yang kreatif  sangat sulit diukur. Organisasi hanya bisa berharap mendapatkan upaya terbaik dari mereka dengan cara meningkatkan semangat, antusiasme, dan kepercayaan karyawan dan terus berupaya membuat mereka merasa menjadi bagian dari organisasi (Hallett, 1985). Ironisnya, organisasi  masih sering menemukan perilaku karyawan yang menandakan bahwa mereka tidak merasa bagian dari organisasi. Salah satu perilaku tersebut adalah praktek whistleblowing.  Suatu perbuatan yang dalam perspektif karyawan dapat merupakan ungkapan loyalitas terhadap organisasi tapi dari perspektif organisasi justru dapat dilihat sebagai bentuk pelanggaran atas loyalitas karyawan.
Dalam tulisan ini akan disoroti praktek whistleblowing dari sudut pandang etika bisnis, terutama terkait dengan loyalitas, employability, dan  keberanian moral karyawan. Dengan pembahasan tema ini diharapkan karyawan dapat mempraktekan suatu whistleblowing yang etis sedangkan dalam konteks lain diharapkan organisasi dapat menempatkan praktek tersebut secara tepat sebagai wujud partisipasi karyawan dalam organisasi. Suatu perilaku  yang bukan saja tidak bertentangan dengan loyalitas tapi justru merupakan salah satu bentuk perwujudan loyalitas terhadap organisasi
Whistleblowing
Whistlelowing secara harafiah dapat diterjemahkan sebagai “peniupan peluit”. Peluit dibunyikan selalu dengan tujuan agar pihak tertentu memberi perhatian kepada si peniup peluit. Dalam organisasi, praktek menarik perhatian pihak tertentu ini secara khusus digunakan untuk tindakan yang menunjukkan ketidaksetujuan individu terhadap praktek tidak benar atau bahkan tidak etis yang dilakukan suatu perusahaan. Apabila pengungkapan tersebut hanya ditujukan kepada pihak terkait dalam perusahaan  maka disebut internal whistleblowing. Sedangkan apabila pengungkapan itu dikemukakan ke publik maka disebut sebagai external whistleblowing. Dengan mengamati berbagai definisi yang ada, Jubb (1999) membatasi domain whistleblowing hanya sebatas sejauhmana pengungkapan itu diajukan ke publik. Dengan demikian, dia tidak memasukkan internal whistleblowing, meskipun penulis lain memasukkannya (Larmer, 1992) Hal itu dapat dipahami dalam konteks bahwa persoalan dan dilema etis yang terkait dengan whistleblowing umumnya muncul pada kasus-kasus external whistleblowing (Bertens, 2004). Pengertian whistleblowing dalam tulisan ini adalah pengertian yang lebih umum yaitu dengan mengadopsi  definisi Near & Miceli (1985, dalam Barnet, 1992) yang mendefinisikan whistleblowing sebagai: “penyingkapan yang dilakukan oleh anggota suatu organisasi akan praktek-praktek illegal, tidak bermoral atau tidak sah yang dilakukan oleh organisasi tersebut, kepada pribadi atau organisasi yang mampu bertindak untuk mempengaruhi praktek-praktek tersebut.
            Penggunaan istilah whistleblowing pertama kali digunakan tahun 1963  ketika salah satu penjabat mengungkapkan praktek tidak etis terkait kebijakan di departemen dalam negeri Amerika Serikat (Vinten, 2000). Selanjutnya, praktek-praktek whistleblowing semakin dikenal dengan latar belakang pengungkapan tidak terbatas pada organisasi publik tetapi juga sektor swasta. Barnet (1999) meneliti tentang pengaruh ukuran organisasi, serikat  pekerja dan jenis industri terhadap kecenderungan karyawan untuk melakukan whistleblowing. Semakin besar ukuran suatu organisasi maka semakin besar kemungkinan karyawannya melakukan tindakan whistleblowing. Demikian juga halnya dengan semakin kuatnya serikat pekerja dalam organisasi tersebut. Jenis industri manufaktur merupakan   organisasi di mana karyawannya lebih mudah melakukan whistleblowing. Dalam bidang jasa, Vinten  (2000) mengangkat kasus whistleblowing yang terjadi di University College, Swansea’s Centre for Philosophy and Health Care terkait standart yang digunakan dalam sistem penilaian mahasiswa termasuk disertasi yang dianggap tidak fair. Dengan demikian, praktek whistleblowing terjadi baik pada perusahaan manufaktur maupun perusahaan jasa.
            Praktek whistleblowing merupakan tindakan etis jika memenuhi persyaratan sebagai berikut (Bowi, 1992 dalam Vinten, 2000): 
  1. Motivasi untuk melakukannya adalah untuk  menghindari dampak buruk yang tidak perlu pada orang lain.
  2. Sudah melakukan prosedur internal perusahaan sebelum membukanya ke publik
  3. Memiliki bukti-bukti yang kuat dan masuk akal
  4. Persepsi bahwa akan ada dampak serius jika hal itu tidak diungkapkan
  5. Pengungkapan itu merupakan bagian dari tanggung jawabnya
  6. Ada kemungkinan untuk berhasil.
Sedangkan, De George (dalam Lindblom, 2007) mengemukakan 3 kondisi yang memperbolehkan praktek whistleblowing yaitu: kerugian pada pihak lain cukup besar karena praktek tidak etis dan atau tidak legal dari perusahaan, karyawan yang mengetahui hal tersebut melaporkan pada atasan langsung, telah menempuh prosedur formal lainnya di dalam organisasi ketika diabaikan oleh atasan langsung.

Loyalitas Karyawan
Secara tradisional, loyalitas karyawan dipahami sebagai sesuatu yang dengan sendirinya tercipta. Ketika seseorang bergabung dengan perusahaan, dengan sendirinya dia akan bersikap loyal, bertahan dalam organisasi dan melakukan yang terbaik untuk organisasi. Di lain pihak, organisasi diasumsikan akan selalu memperhatikan perkembangan karyawan, memberikan yang dibutuhkannya. Dalam wacana Manajemen Sumber Daya Manusia, asumsi itu disebut Kontrak Psikologis. Kontrak psikologis merupakan dasar adanya loyalitas karyawan. Akan tetapi, dengan meningkatnya persaingan bisnis saat ini, kontrak psikologis tinggal menjadi prioritas terakhir bagi perusahaan. Hal itu terjadi seiring dengan perubahan penekanan perusahaan yaitu lebih pada profit, efisiensi dan kepentingan pemilik saham  (Obilade, 1998). Perusahaan tidak menghargai loyalitas karyawan seperti  dalam praktek tradisional yaitu dengan memberi pekerjaan yang baik, kepastian dan keamanan pekerjaan serta keuntungan bagi karyawan. Karyawan tetap justru mulai digeser dengan tenaga kontrak atau tenaga lepas. Akibatnya, karyawan semakin tidak percaya bahwa perusahaan akan peduli dengan mereka. Dalam konteks inilah loyalitas tidak mungkin dianggap sebagai sesuatu yang terjadi dengan sendirinya ketika seorang karyawan bergabung dalam perusahaan. Apabila perusahaan menginginkan seorang karyawan yang loyal, perusahaan harus mengupayakannya.  
            Loyalitas karyawan dipahami sering terbatas pada kesediaan karyawan untuk tinggal dalam organisasi. Bahkan secara ekstrim, Boroff and Lewin (1999) mengemukakan bahwa: loyal berarti tetap bertahan dalam organisasi  dan “menderita  dalam kesunyian” bahkan ketika karyawan sadar dan  percaya bahwa mereka diperlakukan tidak adil oleh organisasi. Sedangkan Porter (1974) melihat loyalitas sebagai rasa memiliki yang diwujudkan dalam keinginan untuk tetap bertahan dalam organisasi. Suatu kepercayaan terhadap organisasi dan manajemen bahwa mereka melakukan hal-hal yang baik.
Coughan (2005, dalam Ross & Ali, 2011) mengemukakan kesulitan dalam mendefinisikan loyalitas karyawan disebabkan oleh karena dalam beberapa penelitian loyalitas sering dicampuradukan dengan komitmen karyawan.  Dalam tulisan ini, penulis cenderung mengadopsi  pendapat Antoncic & Antoncic (2011)  yang melihat loyalitas terhadap organisasi sebagai suatu tingkatan sejauh mana seorang karyawan merasa menjadi bagian dari organisasi. Menjadi bagian dari organisasi merupakan tingkatan lebih tinggi dibanding dengan “tetap tinggal” dalam organisasi hanya karena memiliki komitmen kontinuans (tetap bertahan karena resiko yang dihadapi jika meninggalkan organisasi itu lebih besar). Karyawan tetap tinggal juga tidak semata karena komitmen normative (harus patuh karena memang sudah seharusnya begitu, sesuai norma yang ada) tetapi loyalitas harus terkait sampai pada komitmen affektif (Ross & Ali,2011), dalam mana karyawan sungguh merasa bahwa “suka-duka” organisasi adalah “suka-duka”-nya juga. Oleh karena itu loyalitas mencakup kesediaan untuk tetap bertahan, memiliki produktivitas yang melampaui standard, memiliki perilaku altruis, serta adanya hubungan timbal balik di mana loyalitas karyawan harus diimbangi oleh loyalitas organisasi terhadap karyawan (Powers, 2000).
            Ada 16 indikator yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi loyalitas karyawan sebagaimana dikemukakan Powers (2000), yaitu:
  1. Tetap bertahan dalam organisasi
  2. Bersedia bekerja lembur untuk menyelesaikan pekerjaan
  3. Menjaga rahasia bisnis perusahaan
  4. Mempromosikan perusahaan kepada pelanggan dan masyarakat umum
  5. Menaati peraturan tanpa perlu pengawasan yang ketat
  6. Mau mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan organisasi
  7. Tidak bergosip, berbohong atau mencuri
  8. Membeli dan menggunakan produk perusahaan
  9. Ikut berkontribusi dalam kegiatan social perusahaan
  10. Menawarkan saran-saran untuk perbaikan
  11. Mau berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan aksidental perusahaan
  12. Mau mengikuti arahan atau instruksi
  13. Merawat properti perusahaan dan atau tidak memboroskannya
  14. Bekerja secara aman
  15. Tidak mengakali aturan perusahaan termasuk ijin sakit
  16. Mau bekerja sama dan membantu rekan kerja.
McCusker & Wolfman (1998) mengemukakan bahwa dalam perubahan lingkungan bisnis yang sangat cepat di mana pertumbuhan produktifitas dan profitabilitas perusahaan semakin kritis, pertanyaan besar yang selalu dihadapi Manajer Sumber Daya Manusia adalah bagaimana membangun dan mempertahankan loyalitas yang tinggi dari karyawannya. Tingkat turnover yang tinggi sebagai salah satu akibat dari rendahnya loyalitas karyawan tidak hanya berdampak pada meningkatnya biaya terkait sumber daya manusia. Perusahaan juga dapat kehilangan sumber daya mamusia yang kompeten untuk memenangkan persaingan. Di lain pihak, trend kebijakan perusahaan seperti penerapan outsourching, perampingan struktur, serta penggabungan perusahan (merger) semakin meningkatkan job insecurity yang pada akhirnya berdampak negatif terhadap loyalitas karyawan. Pemahaman dan pengimplementasian berbagai program untuk loyalitas karyawan semakin mendesak untuk dilakukan oleh manajer sumber daya manusia khususnya dan perusahaan pada umumnya.
Salah satu survey tentang loyalitas yang dikutip Drizin & Schneider (2004) menunjukkan bahwa pendorong utama untuk loyalitas karyawan adalah fairness. Hal itu mencakup: fair dalam penggajian, fair dalam penilaian kinerja, dan fair dalam perumusan dan pengimplementasian kebijakan. Sedangkan Mc Quiness (1998) mengemukakan bahwa komunikasi yang efektif dalam suatu perusahaan akan berdampak pada loyalitas karyawan. Peran komunikasi dalam meningkatkan loyalitas karyawan ini didukung oleh Smith & Rupp (2006).
Penurunan loyalitas umumnya disebabkan oleh ketidakpercayaan terhadap keputusan dan kebijakan organisasi, buruknya komunikasi dan aliran informasi internal, serta gaya kepemimpinan dalam organisasi (Antoncic & Antoncic, 2011). Oleh karena itu, loyalitas harus dibangun antara lain melalui pengelolaan struktur, budaya, dan kepemimpinan dalam organisasi (Cunha, 2002), meningkatkan partisipasi dalam pengambilan keputusan, komunikasi efektif dan terbuka, pengembangan saling percaya, pengembangan karir, serta penggajian berdasarkan produktivitas, dan fleksibilitas tunjangan (McGuinness, 1998).
Loyalitas karyawan juga dapat dibangun melalui hubungan yang baik antara atasan dan bawahan. Membangun hubungan saling percaya satu sama lain merupakan satu bentuk kompensasi yang sangat bermakna bagi karyawan. Karyawan harus tahu bahwa atasan mereka memperlakukan mereka sebagai pribadi tidak sekedar “sumber daya” sebelum mereka termotivasi untuk memberi yang terbaik bagi organisasi (Boltax, 2011). Loyalitas karyawan itu ada dalam satu perusahaan apabila karyawan percaya bahwa dalam tujuan perusahaan , karyawan dapat  mencapai tujuan mereka.

Whistleblowing sebagai ungkapan loyalitas karyawan
Whistleblowing sering hanya dilihat semata-mata suatu tindakan  yang merugikan perusahaan. Pengungkapan suatu praktek tidak etis, tidak legal, atau tidak legitimate memang sering berdampak pada citra perusahaan yang menurun di mata publik. Bahkan dalam kasus tertentu, perusahaan harus mengeluarkan ganti rugi atas praktek yang telah dilakukan. Sikap negative organisasi terhadap praktek whistleblowing lebih disebabkan oleh karena organisasi tidak mau/mampu melihat manfaat whistleblowing untuk jangka panjang. Apabila praktek salah dalam perusahaan tersebut tidak diungkap, tidak tertutup kemungkinan ketika hal itu terungkap tanpa peran whistleblower, kerugian yang dialami pihak terkait sudah lebih besar sehingga berakibat pada ganti rugi yang harus dikeluarkan organisasi akan lebih besar pula. Organisasi juga akan membutuhkan sumber daya yang lebih besar untuk memperbaikinya. Dengan demikian berdampak pada waktu yang dibutuhkan untuk recovery akan lebih lama.
Dalam konteks tersebut  di atas maka dapat dipahami pernyataan Varelius (2009)  bahwa whistleblowing tidak bertentangan dengan loyalitas. Loyalitas karyawan selalu  menuju ke sesuatu yang baik yaitu kemajuan perusahaan. Demikian juga halnya dengan whistleblowing diarahkan ke sesuatu yang baik yaitu memperbaiki praktek tidak benar agar perusahaan dapat lebih maju.  Larmer (1992) bahkan mengatakan bahwa karyawan tetap loyal terhadap perusahaan ketika karyawan melakukan external whistleblowing dengan alasan melindungi dirinya dari perilaku tidak fair dari perusahaan.  Karyawan loyal tidak diwajibkan untuk melakukan apa yang secara moral adalah salah.
Ada tiga kewajiban karyawan terhadap perusahaan yang dikategorikan penting oleh Bertens (2004), yaitu ketaatan, konfidensialitas dan loyalitas. Kewajiban loyalitas diimplementasikan karyawan dengan melibatkan diri pada upaya-upaya untuk merealisasikan tujuan-tujuan perusahaan. Praktek-praktek bisnis yang tidak etis yang dilakukan individu dalam perusahaan dapat menghalangi tercapainya tujuan perusahaan. Karyawan yang loyal tentu saja diharapkan bahkan diwajibkan untuk mencegah tindakan-tindakan yang merugikan perusahaan. Salah satu cara untuk mengatasi persoalan tersebut adalah melaporkan perilaku-perilaku tidak etis tersebut kepada pihak tertentu yang dapat mempengaruhi atau mencegah praktek tersebut berlanjut. Dengan demikian, praktek whistleblowing yang etis itu bukan sekedar suatu perbuatan yang tidak bertentangan dengan loyalitas karyawan tapi justru merupakan salah satu perwujudan loyalitas karyawan terhadap perusahaan.
Karyawan yang akan melakukan whistleblowing sebagai bentuk perwujudan loyalitas tetap dituntut untuk  memperhatikan dampak setelah melakukannya baik terhadap diri sendiri maupun pihak lain. Whistleblowing diijinkan jika akibatnya lebih banyak memiliki dampak positif daripada negatif (Lindblom.2007). Oleh karena itu, sebelum melakukan whistleblowing, seseorang harus melakukan beberapa hal antara lain (James, 1994, dalam Vinten, 2000):
  1. Yakin bahwa situasi yang dihadapi memang menuntut praktek whistleblowing
  2. Menguji alasan mengapa mau melakukannya
  3. Verifikasi dan dokumentasikan informasi yang dimiliki
  4. Menentukan  tipe praktek yang tidak benar dan kepada siapa hal itu akan dilaporkan
  5. Merumuskan pernyataan/ dugaan  dengan cara yang paling tepat
  6. Fokus pada fakta
  7. Putuskan apakah akan dilakukan secara internal atau eksternal
  8. Putuskan apakah akan dinyatakan secara terbuka atau anonim
  9. Yakinkan bahwa telah mengikuti semua prosedur dalam pelaporan praktek yang salah
  10. Konsultasi dengan pengacara
  11. Antisipasi pembalasan dendam

Pengaruh Tingkat Employability dan Keberanian Moral  terhadap Keputusan Melakukan Whistleblowing
Lieberman (2004) mendefinisikan keberanian moral sebagai keberanian untuk bertindak sesuai dengan 5 prinsip universal, yaitu: honesty, fairness, respect, responsibility, dan compassion. Keberanian moral merupakan suatu kualitas pikiran dan mental yang memungkinkan seseorang mampu menghadapi tantangan etika terkait perusahaan dan konfidensialitas. Keberanian moral merupakan sikap mental yang dimiliki seorang individu untuk melakukan sesuatu yang dianggapnya benar meskipun dia harus mengalami hal-hal yang tidak diharapkan. Keberanian moral menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang telah diyakini sebagai suatu kewajiban pun pula apabila tidak disetujui atau secara aktif dilawan oleh lingkungan (Magnis-Suseno, 1993).
Survey yang dilakukan Verschoor (2006) tentang alasan seorang anggota organisasi tidak melakukan whistleblowing menunjuk pada tiga alasan, yaitu: 1) ketakutan akan pembalasan; 2) anggapan bahwa organisasi tidak akan menanggapi; 3) tidak ada jalur yang aman untuk mengungkapkannya. Seorang whistleblower umumnya akan berhadapan dengan mereka yang terkait langsung dengan praktek tidak etis dalam organisasi. Dengan demikian maka pilihan untuk melakukan whistleblowing akan menempatkan seseorang pada posisi tidak aman. Individu yang tidak memiliki keberanian moral yang kuat akan cenderung untuk mencari posisi yang aman sehingga menutup kemungkinan untuk melakukan tindakan whistleblowing.
            Selain harus memiliki sikap kepribadian moral yang kuat yang antara lain tercermin dalam keberanian moral, seorang karyawan dituntut untuk terus mengembangkan diri terutama terkait profesinya sehingga tingkat employability-nya bertambah. Employability merupakan kemampuan untuk mendapatkan pekerjaan lain di pasar tenaga kerja (Silla, et al. 2009). Secara lebih luas, McLeis (2002, dalam Clarke, 2008) mendefinisikan employability sebagai kemampuan individu untuk menemukan suatu pekerjaan, mempertahankan suatu pekerjaan, dan berpindah dari satu pekerjaan atau industri ke pekerjaan atau industri lainnya. Employability lebih merupakan tanggung jawab individu daripada organisasi (Clarke & Patrickson, 2008).Individu harus bertanggung jawab untuk pengembangan personalnya dan dapat melihat karirnya lebih luas tidak hanya antar bagian dalam satu organisasi tetapi lintas industri (O’Donoghue & Maquire, 2005). Dengan demikian, individu harus terus mengembangkan diri bukan hanya untuk memenuhi tuntutan pekerjaan dalam organisasi saat itu tapi tuntutan kompetensi pekerjaan pada jenis industri yang sama.
Orang yang memiliki tingkat employability rendah akan cenderung tidak berani mengambil resiko untuk “berseberangan” dengan perusahaan. Hal itu disebabkan oleh ketakutan mereka akan kesulitan untuk menemukan pekerjaan yang baru jika mereka menerima “balas dendam” terberat yaitu dipecat dari organisasi tersebut. Mereka akan terkungkung pada loyalitas semu yaitu menunjukkan loyalitas pada sekedar bertahan dalam perusahaan dan (meminjam ungkapan Boroff & Lewin)  “menderita dalam kesunyian” karena tetap diam meski diperlakukan tidak fair oleh perusahaan.  Tanpa memiliki keberanian moral dan tingkat employability yang tinggi, seseorang akan sulit untuk melakukan whistleblowing.
Simpulan
Setelah membahas praktek whistleblowing dalam kaitan dengan loyalitas, employability, dan keberanian moral, ada 4 hal yang dapat disimpulkan dalam pembahasan ini, yaitu:
  1. Organisasi tidak selalu harus melihat praktek whistleblowing sebagai sesuatu yang mencederai loyalitas karyawan
  2. Karyawan yang hendak melakukan whistleblowing harus dapat mengikuti prosedur yang etis
  3. Praktek whistleblowing yang etis bukan saja tidak melanggar loyalitas karyawan tetapi justru merupakan ungkapan loyalitas karyawan terhadap organisasi
  4. Keberanian Moral dan Tingkat Employability karyawan sangat menentukan apakah karyawan tersebut akan melakukan praktek whistleblowing
Kepustakaan:
Antoncic, Jasna Auer dan Bojan Antoncic. 2011. Employee Loyalty and Its Impact on Firms Growth. International Journal of Management and Information Systems, Vol.15 (1): 81-87.
Barnet, Tim. 1992. A Preliminary Investigation of the relationship Between Selected Organizational Characteristics and External Whistleblowing by Employees. Journal of Business Ethics, Vol. 11 (12): 949-959
Bertens, K. 2004. Pengantar Etika Bisnis. Yogjakarta: Kanisius
Boltax, Jason. 2011. Love ‘Em or Lose ‘Em: Retaining Talented Employees, CPA Practice Management Forum, Novembre  2011: 19-22
Boroff, Karen E. dan David Lewin.1997. Loyalty, Voice, and Intent to Exit  a Union Firm: A conceptual and empirical analysis. Industrial and Labour Relation Review, Oct. Vol. 51 (1): 50-63
Clarke, Marilyn. 2008.Understanding and Managing Employability in Changing Career Contexts. Journal of European Industrial Training. Vol. 32 (4): 258-284.
Clarke, Marilyn dan Margaret Patrickson. 2008. The New Convenant of Employability. Employee Relations, Vol. 30 (2): 121-141.
Cunha, Miquel Pinae. 2002. “The Best Place to Be”: Managing Control and Employee Loyalty in a Knowledge Intensive Company. The Journal of Applied Behavioral Science, Dec 2002, Vol. 8 (2): 481-495
Hallet, Jeffrey J. 1985. The New 80/20 Rule: Human Resources are Today’s Competitive Factor. The Personnel Administrator, Vol. 30 (3): 16
Jubb, Peter B. 1999. Whistleblowing: A restrictive definition and interpretation. Journal of Business Ethics, Vol. 21 (1): 77-94
Larmer, Roberts A. 1992. Whistleblowing and Employee Loyalty. Journal of Business Ethics, Feb. Vol.11 (2): 125-128
Lieberman, E. James. 2004. Moral Courage: Ethics in action. Library Journal. Vol 129 (20): 143.
Lindblom, Lars. 2007. Dissolving the Moral Dilemma of Whistleblowing. Journal of Business Ethics, 76: 413-426.
Magnis-Suseno. 1993. Etika Dasar: Masalah-masalah pokok filsafat moral. Yogjakarta: Kanisius.
McCusker, Deb dan Ilene Wolfman. 1998. Loyalty in the Eyes of Employers and Employees. Workforce, Novembre 1998: 12-14
McGuinnes, Barbara M. 1998. The Change in Employee Loyalty. Nursing Management, Vol. 29 (2): 45-46
Miceli, Maria P. dan Janet P. Near. 1994. Whistleblowing: Reaping  the benefits. The Accademy of Management Executive, Vol. 8 (3): 65-71
O’Donoghue, John & Theresa Maquire.2005.The Individual Learner, Employability and the Workplace. Journal of European Idustrial Training. Vol.29 (6): 436-446.
Obilade, Sandra. 1998. Redefining Loyalty: Motivational Strategies and Employee Loyalty in an Era of Downsizing.  New England Journal of Entrepreneurship. Summer, Vol. 1 (1): 31-41
Powers, Edward L. 2000. Employee Loyalty in the New Millenium. S.A.M. Advanced Management Journal. Summer, Vol. 65 (3): 4-8
Ross, Peter dan Yunus Ali, 2011. Antecedents of Employee Loyalty in an Emerging Economy: The Malaysian Multimedia Super Corridor. Labor and Industry, Vol.22 (1/2) August/December: 25-55
Silla, Immaculada,Nelle De Cuyper, Francisco J. Gracia, Jose M. Peiro. 2009. Job Insecurity and Well-Being: Moderation by Employability. J. Happiness Stud. 10: 739-751.
Smith, Alan D. dan William T. Rupp. 2002. Communication and Loyalty  among Knowledge Worker: A resource of the firm theory view. Journal of Knowledge Management, Vol.  3: 250-261.
Valerius, Jukka. 2009. Is Whistleblowing Compatible with Employee Loyalty? Journal of Business Ethics, Vol. 85: 263-275.
Verschoor, Curtis C. 2006. Surveys Show Ethics Problem Persist. Strategic Finance, Vol. 88 (4): 19-21.
Vinten, Gerald. 2000. Whistleblowing towards Quality. The TQM Magazine, Vol.12 (3):166-171

BAHAN DISKUSI:

Pada artikel di atas, penulis mengutib pendapat Powers (2000) tentang 16 indikator loyalitas karyawan dalam satu organisasi.

  1. Jika Saudara seorang KARYAWAN, manakah indiKator yang PALING SULIT Saudara penuhi agar Saudara dapat disebut loyal dalam suatu organisasi? Mengapa?
  2. Jika Saudara seorang KARYAWAN, manakah indikator yang PALING MUDAH Saudara penuhi agar Saudara dapat disebut loyal dalam suatu organisasi? Mengapa?
  3. Jika Saudara seorang PIMPINAN/MANAJER, manakah indikator yang PALING PENTING yang harus dimiliki oleh bawahan/karyawan  agar mereka bisa Saudara anggap sebagai karyawan yang loyal? Mengapa?
Selamat Berdiskusi……

Sabtu, 22 Februari 2014

Pelanggaran Kontrak Psikologis oleh Pekerja dan Pemberi Kerja (Bahan Diskusi IV MSDM II)



Bahan Bacaan:

Nadin, Sara J. & Colin C. Williams. 2012. Psychological Contract Violation Beyond an Employees’ Perspective: The perspective of employers. Employee Relations, Vol. 34 (2): 110-125
Turnley, William H. & Daniel C. Feldman. 1999. The Impact of Psychological Contract Violations on Exit, Voices, Loyalty, and Neglect. Human Relations, Vol. 52 (7): 895-922

        Kontrak Psikologis merupakan harapan tidak tertulis bahwa tenaga kerja dan pemberi kerja mempunyai sifat alamiah dari hubungan kerja mereka. Kotrak tidak tertulis itu terutama terkait dengan harapan bahwa tenaga kerja akan melakukan “yang terbaik” bagi organisasi dan organisasi akan melakukan “yang terbaik” bagi tenaga kerja. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa pelanggaran kontrak psikologis berdampak negative terhadap kinerja individu maupun organisasi. Turnley & Feldman (1999) mengemukakan bahwa pelanggaran terhadap kontrak psikologis oleh pemberi kerja berdampak pada meningkatnya jumlah pekerja yang meninggalkan organisasi, meningkatnya protes dan penolakan terhadap kebijakan organisasi, serta menurunnya loyalitas pekerja.
         Nadin & Williams (2012) menyoroti bahwa penelitian terkait kontrak psikologis cenderung berat sebelah. Penelitian lebih banyak menyoroti dampak pelanggaran kontrak yang dilakukan pemberi kerja tapi kurang menyoroti pelanggaran kontrak yang dilakukan oleh pekerja. Oleh karena itu, dalam penelitian mereka, Nadin & Williams (2012) berhasil menunjukkan dampak yang terjadi pada pemberi kerja ketika kontrak psikologis itu dilanggar oleh pekerja.

Bahan Diskusi:


  1. Berikanlah contoh pelanggaran kontrak psikologis yang dilakukan oleh PEKERJA serta beri masukan untuk cara mengatasinya.
  2. Berikanlah contoh pelanggaran kontrak psikologis yang dilakukan oleh PEMBERI KERJA serta beri masukan untuk cara mengatasinya

MOHON PERHATIAN:

PAHAMI SUNGGUH-SUNGGUH APA YANG DIMAKSUD DENGAN KONTRAK PSIKOLOGIS SEBELUM SAUDARA BERKOMENTAR. Terima Kasih, selamat berdiskusi…