Rabu, 29 Januari 2014

Laboratorium Mini Bisnis: Antara harapan dan kenyataan (Bahan Diskusi I MSDM II)



(Julius Runtu)

Sumber: Fakultas Bisnis UKWMS. 2010. The 1st 45 Years: Economic Transformation, 78-86.  Surabaya: FBUKWMS

Beberapa bulan terakhir ini, dinamika fakultas sungguh-sungguh berubah. Hal itu Nampak dalam berbagai aktivitas konkrit yang tidak rutin maupun dalam tataran wacana. Persiapan dan akhirnya perubahan fakultas menjadi Fakultas Bisnis telah menyedot energy baik secara fisik (dengan berbagai acara seremonial), pikiran (dengan berbagai acara berlabel ilmiah) maupun psikis dari segenap sivitas akademika.  Wajah-wajah sumringah menyambut “kelahiran nama baru” yang telah “dikandung” bertahun-tahun dalam rahim wacana akademis, terkadang harus merengut bersitatap dengan wajah apatis bahkan ketus menyikapi perubahan yang ada. “Fakultas Bisnis, kok begini!” ; “Yang ini saja tidak ada, mengapa berubah!”; “Jangan sekedar ganti nama, ya”; serta rentetan litani keraguan tiada henti. Ada apa denganmu Fakultas Bisnis?

Harapan Akan Perubahan Konkrit
Pertanyaan-pertanyaan bernada keraguan itu sesungguhnya menyiratkan adanya harapan akan sesuatu yang lebih. Boleh jadi sesuatu yang bukan sekedar impian mengingat kadang ada  impian yang tidak menjadi kenyataan! Mungkin harapan yang cukup realistis, karena lebih mungkin untuk terwujud. Sebab, harapan selalu dibangun berdasarkan realitas sekarang dan masa lalu, dikonfrontasikan dengan berbagai peluang dan ancaman yang ada, lalu diproyeksikan menjadi satu kondisi di masa depan yang diinginkan. Persoalan yang muncul adalah perubahan seperti apa yang harus diupayakan agar harapan itu menjadi kenyataan? Perubahan mana yang lebih mudah untuk dilakukan?  Perubahaan manakah yang paling mendesak untuk dilakukan? Perubahan di bidang manakah yang berdampak lebih signifikan terhadap organisasi? Apapun perubahan itu, tetapi yang lebih penting adalah perubahan itu harus konkrit dan tidak sekedar perubahan di permukaan kulit saja.

Suatu Laboratorium Bisnis
Mungkin kita sudah menonton beberapa episode film Harry Potter. Kita mungkin kagum dengan bagaimana JK Rowling penulisnya menggambarkan sekolah sihir Hogwarts tempat si Harry menimba ilmu dengan amat detil dan menarik. Para calon murid harus naik kereta api dan duduk di gerbong 9¾. Mereka juga diterima di auditorium yang plafonnya telah “disihir” sehingga bintang-bintang di malam hari dapat kelihatan. Tanpa dipasangi gapura bertuliskan sekolah sihirpun para siswa sudah dapat mengetahui di mana mereka sedang berada.
Kembali ke dunia nyata, bagaimana dengan Fakultas Bisnis? Apakah atmosphere bisnis akan terasa saat seseorang berinteraksi dalam lingkup Fakultas Bisnis? Pertanyaan “nakal” ini mungkin akan segera ditimpali: “Ini pendidikan bisnis bukan bisnis pendidikan!” Tapi, manakah lebih dulu ada, suatu konsep atau realitas yang diwakilkan oleh konsep itu? Kalau benar memang ada konsep “bisnis pendidikan” berarti ada realitas “bisnis pendidikan” yang bersama realitas lain yang memakai embel-embel bisnis akan masuk juga dalam ranah bisnis. Kalau sudah demikian, bukankah dia juga harus mengadopsi frase-frase bisnis seperti “layanan prima”, “kepuasan pelanggan”, “perbaikan berkelanjutan”, komitmen organisasional”, dan seterusnya? Ataukah semua itu memang bisa diajarkan tanpa tuntutan untuk mengimplementasikan terlebih dahulu dalam lingkup tertentu di mana “sang guru” bertahta? Bukankah orang Romawi kuno telah mengingatkan bahwa: nemo dat quod non habet, seseorang tidak dapat  memberikan apa yang tidak dia miliki?
Demikian juga halnya dengan organisasi, tentu tidak dapat memberikan sesuatu yang tidak dimilikinya. Pada tataran tertentu, seseorang tidak bisa meminta orang lain melakukan apa yang dia sendiri tidak bisa atau tidak mampu lakukan. Kenyataan ini menuntut Fakultas Bisnis untuk menjadi laboratorium mini bisnis. Laboratorium memang tidak pernah sama dengan “dunia nyata” tetapi minimal dapat menjadi tempat yang cukup ideal untuk menjadi ajang uji coba berbagai konsep yang telah, sedang, dan akan diajarkan. Persoalannya, bagaimana mewujudkan dan atau mengkondisikan harapan itu?

Perspektif Manajemen Sumber Daya Manusia
Berbicara tentang perubahan, konsep pengelolaan sumber daya manusia telah mengalami banyak perubahan. Semula hanya sekedar menangani administrasi kepegawaian (bagian personalia) kemudian berkembang menjadi departemen tersendiri dengan embel-embel departemen manajemen sumber daya manusia (lih. Sculler, et al., 2001). Perubahan itupun belum cukup, peran MSDM masih dilihat “sebelah mata” oleh banyak organisasi sehingga pengelola di departemen itu lebih dipercayakan pada mereka yang dianggap mampu memahami (kejiwaan?) pekerja atau mereka yang dianggap mampu mengatasi persoalan hukum jika terjadi masalah terkait pekerja. Departemen MSDM harus berperan lebih dari itu! Tapi bagaimana? Muncul akhirnya yang disebut Strategic Human Resources Management (SHRM). Pengelolaan SDM harus matching dengan strategi bisnis perusahaan (bdk. Becton & Schraeder, 2009; Wang & Shyu, 2008; Chang & Huang, 2005). Kalau demikian, pengelolanya harus yang mengerti bisnis juga. Kalau perusahaan menerapkan strategi cost leadership, jangan merekrut orang yang terlalu kreatif, sebaliknya jika strategi inovasi yang digadang-gadang perusahaan.
            Apakah para pekerja akhirnya merasa nyaman dengan perubahaan itu? Ternyata tidak selalu demikian. Kaye (1999) mensinyalir bahwa upaya-upaya pengelolaan SDM dengan me-match-kan dengan strategi perusahaan tidak dengan sendirinya melepaskan karyawan dari perlakuan sebagai suatu komoditas di pasar tenaga kerja. Kalau mau, silahkan bergabung tapi kami hanya menyediakan fasilitas seperti ini (toh banyak yang butuh pekerjaan!). Kalau mau, statusnya kontrak saja (lumayan tidak perlu menyiapkan biaya tambahan untuk pensiun!). Atau, outsourching sajalah (ketika tidak cocok, tinggal mengajukan klaim sehingga diganti atau tidak memperpanjang MOU dengan pengerah tenaga kerja).
            Kondisi ini merupakan masa “bulan madu” bagi pengelola SDM dan pemilik bisnis. Efisiensi dan pada akhirnya profitabilitas perusahaan meningkat (bdk. Lepak & Snell, 1999). Di pihak pekerja, tingkat kepuasan menurun, komitmen yang ada tinggal komitmen kontinuans (terpaksa bertahan karena tidak ada atau sulit mencari pekerjaan lain). Demikian pula halnya dengan job insecurity (ketidakpastian pekerjaan) melenjit naik tak terkontrol oleh sang pekerja (bdk. Kaye, 1999) dan bahkan memang semakin tak terhindarkan oleh perusahaan dalam persaingan yang semakin ketat (Pfeffer & Fega, 1999, dalam Hassan, et al. 2006)? Bagaimana dengan Fakultas Bisnis UKWMS? Itukah gambaran bisnis yang telah, sedang, dan akan diajarkan? 

Taking care of business by taking care of employees and customers
            Saya tidak bermaksud masuk dalam perdebatan apakah pelanggan fakultas bisnis adalah mahasiswa ataukah orang tua mahasiswa. Menurut saya, kedua-duanya sekaligus yang dimaksudkan pelanggan. Konsekuensinya, mahasiswa harus “dipuaskan” dengan cara yang tidak menyalahi harapan orang tua akan pendidikan berkualitas yang diterima anaknya dengan cara yang tepat. Sedangkan pekerja adalah semua yang terkait dengan upaya “memuaskan” tersebut, mulai dari pengambil keputusan tertinggi dalam system sampai mereka yang “beruntung” cukup mengambil keputusan untuk diri sendiri dan (pihak lain yang terkait dengan) pekerjaannya. Apa yang mungkin dapat dilakukan fakultas bisnis dan pihak lain yang “berpengaruh” padanya?
            Lepak & Snell (1999) membagi arsitektur MSDM dalam 4 kuadran. Berdasarkan pengamatan pada apa yang sedang dan direncanakan fakultas terkait dengan SDM-nya, Fakultas Bisnis UKWMS cenderung berada pada kuadran I yang mana dicirikan oleh investasi yang cukup besar pada pengembangan sumber daya manusia. Konsekuensi keberadaan pada kuadran tersebut menurut Lepak & Snell (1999) adalah perlunya prioritas pada membangun komitmen karyawan terhadap organisasi. Beberapa praktek MSDM yang dapat diimplementasikan ataupun dioptimalkan bagi Fakultas dalam kuadran ini adalah:

1. Proses Rekrutmen: Antara Person-Job Fit dan Person-Organization Fit
Certo (2003) dalam    menekankan pentingnya kesesuaian karyawan dengan apa yang akan dikerjakannya. Akan tetapi, Hassan, et al. (2006) melihat pentingnya kesesuaian karyawan dengan organisasi. Dalam rekrutmen tentu saja diharapkan pelamar yang memiliki kesesuaian dengan pekerjaan sekaligus dengan organisasi. Akan tetapi, apabila harus jika yang terpenuhi hanya salah satu, masih lebih baik apabila karyawan fit dengan organisasi. Fit dengan pekerjaan dapat diupayakan melalui pelatihan atau pengembangan lainnya. Fit dengan organisasi lebih sulit karena sering terkait dengan bagaimana mengupayakan kesesuaian  karakter pekerja dengan budaya organisasi. Tantangannya adalah kesesuaian seseorang dengan pekerjaan dapat lebih mudah diidentifikasi dibanding kesesuaiannya dengan organisasi.  Akibatnya, organisasi lebih “tertarik” untuk menekankan kesesuaian pekerja dengan pekerjaan.
Pekerja yang terus menerus mengeluh atau bahkan menjelek-jelekan organisasi dapat saja menjadi salah satu tanda ketidaksesuaiannya dengan organisasi. Selain berdampak pada komitmen karyawan lain, hal itu dapat berdampak langsung pada kinerja organisasi secara keseluruhan karena dapat menyedot energi lebih banyak dari para pengambil keputusan mulai dari level coordinator suatu kepanitiaan sampai pada level tertinggi organisasi. Oleh karena itu, perlu mekanisme yang jelas bagaimana memperlakukan orang-orang yang akhirnya merasa atau dirasa tidak fit dengan organisasi agar mereka tidak “terjebak” dalam organisasi untuk waktu yang lama.

2. Talent inventory

Inventarisasi kompetensi yang dimiliki SDM organisasi sangat penting bagi organisasi. Inventory ini akan memudahkan pengembangan atau ketika dianggap perlu melakukan job enlargement, job rotation. Organisasi akan lebih mudah menyusun portofolionya. Hal itu akan menghilangkan timbulnya kesan bahwa mereka yang tidak bisa menolak akan terus menerus menjadi “korban” limpahan tugas yang diberikan atasan, karena penugasan diberikan sudah berdasarkan pertimbangan atas data yang ada. Atau sebaliknya, fasilitas pengembangan disinyalir hanya diberikan kepada mereka yang dekat dengan para pengambil keputusan. Adanya suatu system yang mudah dipakai dan kesediaan para pekerja untuk selalu “update status”, merupakan prasyarat untuk suatu inventory yang lengkap dan berdaya guna.

3. Flexible Workhours,
Salah satu ciri knowledge worker adalah mereka mengerjakan tugasnya tidak terbatas ketika berada di dalam organisasi. Dalam satu fakultas, tentu saja SDM yang ada lebih banyak masuk dalam kategori ini. Oleh karena itu, organisasi harus merancang suatu jam kerja fleksibel yang tepat. Jam kerja fleksibel bukan berarti bahwa mereka tidak ada kewajiban untuk berada di lingkungan fisik organisasi tapi lebih ke pengaturan jam kerja minimalnya. Perlu diperhatikan bahwa fleksibel tidak berarti mereka tidak mempunyai jam pasti di dalam organisasi tetapi mereka dapat menyusun sendiri pemenuhan jam minimalnya dengan tetap dikoordinasikan dan disetujui organisasi. Dengan demikian, organisasi harus memungkinkan adanya perbedaan jam kerja bagi anggotanya.
            Anggota organisasi yang tidak masuk dalam kategori knowledge worker pun tampaknya tidak dapat menghindari pengaturan jam kerja fleksibel. Berdasarkan kenyataan bahwa jam operasional Fakultas Bisnis (kecuali Sabtu) umumnya mencapai 14 jam per hari, adalah tidak mungkin mengharapkan prima dari anggota organisasi yang “ketiban sampur” lembur pada hari itu. Pengaturan dengan membagi  menjadi 2 shift tugas harus dilakukan kalau tidak mau dianggap melakukan eksploitasi tenaga kerja atau didemo pelanggan karena layanan “seadanya” yang mereka peroleh.

Penutup
            Akhir-akhir ini, ada teman saya yang selalu berteriak: “kita harus mengupayakan bisnis yang unusual!” Ya, mungkin karena dia termasuk yang merasa “gerah” akan praktek bisnis yang kebanyakan (usual). Apakah Anda pun ikut “gerah”? Kalau ya, mari kita mulai bersama-sama mulai membenahi mulai dari laboratorium bisnis kita, Fakultas Bisnis UKWMS, sebelum “kegerahan” itu akhirnya hilang karena tubuh kita telah nyaman dihembus angin “masa bodoh” dan dikipasi oleh “itu bukan tanggung jawab saya”. Akhir kata, kembali ke orang Romawi kuno: Nomen est Omen, Nama adalah Beban/tanggung jawab. Tapi sebagaimana beban pada umumnya tentu akan jauh lebih ringan dan lebih mudah dipikul ketika dipikul bersama-sama. Keterlibatan semua anggota organisasi akan lebih memungkinkan perubahan nama Fakultas menjadi Fakultas Bisnis tidak akan sekedar perubahan nama belaka.


Rujukan
Becton, J. Bret, &  Mike Schraeder. 2009. Strategic Human Resources Management: Are we there yet?  The Journal for Quality and Participation, 31 (4): 11-18
Chang, Wan-Jing April, & Tun Chung Huang. 2005. Relationship between Strategic Human Resources Management and Firm Performance. International Journal of Manpower, 26 (5): 434-449
Chuang, Chih-Hsun & Hui Liao. 2010. Strategic Human Resources Management in Service Context: Taking Care of Business by Taking Care Employees and Customers. Personnel Psychology, 63: 153-196
Hassan, Morsheda, Abdala Hagen & Ivan Daigs. 2006. Strategic Human Resources as Strategic Weapon for Enhacing Labour Productivity: Empirical Evidence. Academy of Strategic Management Journal, 5: 75-96
Kaye, Leah. 1999. Strategic human resources management in Australia: the human cost. International Journal of Manpower. 20 (8): 577-587
Lepak, David P., & Scott A. Snell. 1999. The human resource architecture: toward a theory of human capital allocation and development. Academy of Management Review. 24 (1): 31-48
Pfeffer, J. 1995. Producing sustainable competitive advantage through the effective management of people. Academy of Management  of Executive. 19 (1): 55-72.
Whang, Dang-Shang & Chi-Li Shyu. 2008. Will the Strategic Fit between Business and HRM Strategy Influence HRM Effectiveness and Organizational Performance?. International Journal of Manpower, 29 (2): 92-110
Wattanasupachoke, Teerayout. 2009. Strategic Human Resource Management and Organizational Performance: A Study of Thai Enterprises. Journal of Global Business Issues, 3(2): 139-148


BAHAN DISKUSI:
Artikel di atas ditulis dalam rangka menyambut perubahan Fakultas Ekonomi UKWMS menjadi Fakultas Bisnis. Setelah membaca artikel tersebut, manakah konsep-konsep pengelolaan SDM yang dipakai penulis dalam artikel tersebut yang menarik atau masih membingungkan bagi Saudara? Jelaskan mengapa Saudara berpendapat demikian.

CATATAN:
Hal-hal seputar perubahan nama fakultas tidak perlu dibahas tapi diskusi terbatas pada konsep-konsep pengelolaan SDM yang muncul dalam tulisan tersebut. Selamat Berdiskusi