Ketika saya melanjutkan studi magister
ke Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, saya diharuskan untuk mengambil
program matrikulasi 3 semester yang mana 2 semester harus saya tempuh
bersama-sama dengan mahasiswa S-1.Jadilah saya mahasiswa paling tua di kelas
yang saya ikuti.Seorang dosen manajemen keuangan terheran-heran melihat saya
masuk di kelasnya.Dia lebih tercengang lagi ketika tahu bahwa saya sebelumnya
studi S-1 di bidang Filsafat. Akan tetapi saya balik tercengang ketika dia
berkomentar: “S-1 Filsafat? Mengapa kamu begitu konyol, sudah enak-enakan di
surga, kok mau menyeberang ke neraka?Menurut beliau, filsafat lebih memudahkan
seseorang ke surga sebaliknya bisnis lebih mendekatkan seseorang ke neraka.Meskipun
semua yang di dalam kelas tertawa (kecuali saya tentunya) tapi tampaknya mereka
setuju dengan pernyataan professor keuangan tersebut.Mengapa orang berpendapat
bahwa bisnis lebih cenderung membuat pelaku bisnis “mendekat” ke neraka?Apa
yang terjadi dalam bisnis sehingga memunculkan penilaian sinis tersebut?
Tulisan ini akan mencoba menyoroti sebagian persoalan yang ada dan membahasnya
dalam perspektif filsafat. Pembahasan dari perspektif filsafatakan didasarkan
terutama pada tulisan Prof. Dr. Armada Riyanto CM dalam berbagai buku yang
telah dipublikasikan beliau.
Persaingan Kejam dalam Bisnis
Prinsip scarcity merupakan salah satu asumsi dasar dalam ilmu
ekonomi.Prinsip kelangkaan ini terkait dengan sumber daya yang dibutuhkan
manusia.Sumber daya itu terbatas sehingga harus dikelola dengan baik dan bahkan
“harus diperebutkan”.Selanjutnya muncul kata ajaib “kompetisi” atau “persaingan”.Persaingan
telah mendorong organisasi untuk lebih kreatif, inovatif, efektif dan efisien
untuk dapat memenangkan persaingan.Sayangnya, tidak semua organisasi menempuh
persaingan yang sehat. Selalu ada godaan bagi organisasi yang memiliki
“kelebihan” tertentu (misalnya modal) untuk berupaya “mengalahkan” pesaingnya
dengan berbagai cara. Upaya monopoli merupakan salah satu upaya yang dilakukan.
Dan untuk bisa menerapkan monopoli, suatu organisasi harus “mematikan”
organisasi lain yang bergerak di bidang yang sama. Hal itu dilakukan secara
halus antara lain dengan menerapkan strategi “predatory price” yang mana perusahaan yang memilliki modal besar
menjual produknya di bawah harga pokok produksi (jual rugi) sehingga pesaingnya
yang memiliki modal lebih sedikit tidak akan sanggup “meladeninya”. Ketika
pesaing telah gulung tikar, organisasi tersebut dapat dengan seenaknya
menentukan harga karena dia satu-satunya pemain di bidang itu.
Praktek-praktek tersebut (dengan cara
yang lebih halus) masih tetap terjadi. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
masih tetap menerima banyak laporan terkait praktek persaingan yang tidak
sehat.Salah satu peritel nasional yang besar sempat diajukkan ke pengadilan
oleh para pemasok karena menerapkan uang jaminan untuk pasokan barang dengan
harga termurah. Jadi, ketika peritel tersebut menemukan pemasok lain yang lebih
murah dari pemasok yang dia miliki, maka uang jaminan si pemasok otomatis
hangus. Kebijakan ini sungguh sangat tidak fair karena harga produk bisa
berubah sewaktu-waktu bahkan dapat dipermainkan oleh pihak-pihak lain yang
tidak bertanggungjawab.Untunglah pengadilan memenangkan gugatan para pemasok
sehingga si peritel harus mengganti kerugian para pemasok akibat kebijakan si
peritel tersebut.
Selain pendekatan hukum, persaingan
tidak sehat itu dapat juga dicegah dengan pendekatan yang lebih mendasar yaitu
kesadaran para pebisnis. Meskipun dosen manajemen perubahan saya di UGM merasa
bahwa dia dianggap “nyeleneh” oleh rekan sejawatnya, ada argumentasinya tentang
bisnis yang sampai saat ini membekas dalam diri saya.Dia hendak menggugurkan
asumsi dasar ilmu ekonomi yaitu prinsip scarcity.Menurut
beliau, sumber daya itu tidak terbatas.Persoalannya hanya terletak pada
ketidakmampuan dan keengganan dalam menemukan alternative sumber daya yang
dianggap terbatas tersebut.Konsekuensinya, persaingan itu tidak perlu.Oleh
karena itu dia mengusulkan agar “competition”
diganti dengan “complementation”.
Dengan saling melengkapi, para pebisnis akan mendapatkan berbagai alternative
sumber daya yang tidak terbatas.
Eksploitasi atas pekerja
Adalah suatu pemandangan yang biasa di
Negara ini untuk menyaksikan demo ribuan buruh setiap mendekati akhir tahun.
Sebab pada saat itu, pemerintah bersama pengusaha dan perwakilan buruh akan
menetapkan upah minimum untuk tahun berikutnya. Mengapa persoalan ini selalu
terulang?Dalam teori ekonomi dikenal istilah 4 M yaitu Man, Machine, Money, dan Methods sebagai penentu factor produksi
yang harus dikelola seefektif dan seefisien mungkin agar produktifitas dapat
ditingkatkan.Efektif terkait dengan ketepatan untuk mencapai tujuan sedangkan efisien
terkait dengan biaya yang dikeluarkan untuk itu.Tidak mengherankan bahwa banyak
pebisnis yang sering tergoda untuk mengejar efisiensi (konsekuensinya jelas
yaitu pengurangan biaya) untuk keempat factor tersebut termasuk manusia (yang
umumnya diwakili kaum buruh). Mereka lupa bahwa sejak jaman revolusi industry,
Robert Owen (dalam Wren & Bedeian, 2009: 61-66) telah mengingatkan
pentingnya “invest to vital machine”
yaitu pekerja jika perusahaan ingin meningkatkan produktifitas.Di Negara ini,
kaum buruh harus memacetkan jalan-jalan protocol di kota-kota besar
berhari-hari serta berhadapan dengan pentungan petugas keamanan hanya untuk
memperjuangkan hak “minimum” mereka.Ketika batas minimum itu sudah ditetapkan,
masih ada perusahaan yang sengaja mengakali pengaturan jam kerja sehingga tidak
memenuhi asumsi minimum jam kerja yang disyaratkan agar berhak atas standar
minimum yang diatur undang-undang.
Menurut Locke (dalam Riyanto, 2013: 121)
perbudakan berhenti ketika kerja manusia memungkinkan hidupnya semakin
baik.Ketika ada anggota organisasi yang menganggap bahwa gaji tidak sesuai
dengan kebutuhan hidupnya tetapi organisasi tidak melakukan perbaikan system
(padahal dia mampu) bahkan balik meminta si anggota untuk meninggalkan saja
organisasi tersebut jika merasa tidak cocok, bukankah hal itu merupakan bentuk
perbudakan baru?
George Luckas (dalam Riyanto, 2013:123)
mengemukakan bahwa hal terpenting dalam kerja adalah relasi manusiawi. Ketika
bekerja, manusia tidak sekedar menghasilkan sesuatu melainkan ia juga sedang
mengkomunikasikan dirinya. Hal itu berdampak pada pentingnya reaksi rekan
sekerja dan organisasi terhadap kerja seseorang.Sebab, reaksi tersebut tidak
sekedar reaksi terhadap hasil pekerjaannya tapi merupakan reaksi terhadap diri
orang tersebut. Alangkah sulitnya untuk menerima bahwa penilaian yang kurang
terhadap pekerjaan seseorang akan berhenti pada hasil pekerjaan itu tanpa terus
“menohok” sampai ke harga diri orang yang melakukan pekerjaan itu. Akibatnya,
organisasi harus mempunyai system penilaian yang fair dan bisa
dipertanggungjawabkan. Jika tidak, organisasi akan membunuh secara
perlahan-lahan anggotanya setiap siklus penilaian kinerja itu dilakukan. Atau
sebaliknya, organisasi akan meninabobokan anggotanya dengan harga diri semu
ketika system penilaian ala kadarnya (formalitas) diadopsi dalam organisasi
tersebut.
Untunglah banyak buruh yang tidak tahu
bagaimana peraturan perlakuan atas factor produksi tersebut dalam pencatatan
keuangan perusahaan. Biaya untuk pembelian mesin atau asset berwujud lainnya
diperlakukan berbeda. Andai saya manajer dan tahun ini saya membeli mesin
seharga 50 juta maka dampak keputusan saya masih terasa secara eksplisit pada
laporan keuangan sampai beberapa tahun kemudian karena asset tersebut akan
dibagi 5 tahun (jika penyusutannya misalnya 5 tahun) sehingga setiap tahun saya
bisa mengurangkan masing-masing 10 juta pada laba kotor sebagai biaya
penyusutan sampai tahun kelima ketika nilai buku mesin yang saya beli itu sudah
dianggap nol. Filosofi di balik biaya penyusutan ini adalah ketika tahun kelima saya sudah harus membeli
mesin baru, saya sudah memiliki dana untuk itu serta nilai mesin tersebut
semakin lama semakin berkurang sampai suatu saat tidak mempunyai nilai lagi
bagi perusahaan. Sayangnya, hal itu tidak berlaku bagi pengeluaran yang terkait
SDM.Semua pengeluaran terkait SDM selalu diperlakukan sebagai biaya.Investasi
pada SDM hanya sekedar ungkapan pemanis tanpa dikonkritkan dalam pencatatan
keuangan perusahaan.Akibatnya, banyak manajer yang lebih memilih melakukan
investasi pada asset berwujud dibandingkan pada yang tidak berwujud yaitu
SDM.Mesin dan asset berwujud lainnya diperlakukan lebih “manusiawi” (karena
disadari dan diantisipasi “keausannya”) dibandingkan manusia itu sendiri.
Saling Menjatuhkan dalam Organisasi
Persaingan dalam bisnis tidak hanya
terjadi antara organisasi dengan organisasi lain. Persaingan juga terjadi di
dalam lingkungan organisasi. Tuntutan akan kinerja yang tinggi dengan reward yang tinggi pula memang berdampak
pada peningkatan produktifitas perusahaan. Di sisi lain hal tersebut membuat
anggota organisasi terjerumus pada orientasi akan hasil. Proses untuk mencapai
tujuan sering diabaikan karena yang dipentingkan adalah pencapaian target.
Segala cara dihalalkan (misalnya, merebut klien dari rekan kerja, menahan
informasi tertentu, dan lain-lain) demi mencapai tujuan. Akibatnya,
ketidakpercayaan mewarnai hubungan anggota organisasi.
Gap kompensasi yang terlalu tinggi
antar posisi yang ada dalam organisasi
juga berdampak pada upaya “saling jegal” untuk memperebutkan posisi yang lebih
“basah”. Pada kondisi ini muncul para oportunis dan “penjilat” yang membuat
sikap saling percaya bergerak ke titik nadir.Ungkapan Sartre mungkin agak mewakili
gambaran yang umum yang terjadi dalam berbagai relasi tersebut.Sesama (rekan
kerja) adalah neraka bagi eksistensi/keberadaan saya.Semua relasi yang terjalin
tampak hanya relasi transaksional atau dengan ungkapan yang lebih kasar dapat
disebut sebagai relasi “saling memanfaatkan”.Sesama hanya dilihat sebagai “yang
sejauhmana barmanfaat bagi saya”.Tanpa bermanfaat, dia tidak ada dalam relasi
saya.
Padahal, relasi yang didasarkan pada
transaksi akan berumur pendek yaitu sejauh manfaat masih dapat diidentifikasi
pada relasi tersebut. Relasi ini tidak mencerminkan martabat manusia.Memberi
bukan suatu transaksi karena jika demikian maka tindakan itu selesai pada saat
itu (Riyanto, 2013:109). Memberi merupakan penyeberangan dari kepentingan
pribadi ke kepentingan orang lain. Memberi memungkinkan saya
semakin menjadi manusiawi.
Hal lain yang muncul dari kondisi
tersebut di atas adalah sikap saling curiga.Semua rekan kerja dapat saja
menjadi “musuh dalam selimut” yang sewaktu-waktu dapat menikam dari belakang.Atau
menjadi penjilat yang selalu memata-matai kinerja seseorang dan melaporkan ke
atasan ketika ada yang tidak beres.Curiga memungkinkan relasi manusia pada
pinggiran ketulusan.Tidak ada kedalaman hubungan personal bila curiga datang
dan menghantui (Riyanto, 2013:175).Curiga tidak semata-mata perasaan tapi
mengindikasikan pengetahuan tertentu.Pengetahuan tersebut belum sempurna. Oleh
karena itu, untuk mengatasi kecurigaan maka perlu pencarian akan pengetahuan
yang sempurna atau pengetahuan yang sebenarnya. Akan tetapi sebelum
menemukannya, curiga yang berkembang dalam organisasi itu telah merusak
sendi-sendi relasi manusiawi dalam organisasi tersebut.
Menuju Organisasi Bisnis yang Lebih Manusiawi
Upaya mendasar untuk membuat organisasi
bisnis menjadi lebih manusiawi adalah dengan mengupayakan keadilan dalam
organisasi tersebut. Keadilan itu penting dalam konteks ekonomi dan bisnis
karena keadilan tidak pernah sebatas perasaan atau sikap batin saja tapi
menyangkut kepentingan atau barang yang dimiliki atau dituntut oleh berbagai pihak (Bertens, 2000:85). Apalagi,
adil merupakan satu kodrat perbuatan manusia
yang menunjukkan keterarahan pada orang lain. Dengan demikian, adil
merupakan keutamaan seseorang yang tertuju kepada orang lain (Riyanto, 2013:
74)
Gejolak yang sering muncul dalam relasi
berorganisasi adalah perlakuan yang tidak adil baik oleh system maupun individu
(rekan dan pimpinan) terhadap individu lain. Terkait dengan system, banyak
individu yang melihat kebijakan yang diambil oleh organisasi, lebih menguntungkan pihak tertentu (umumnya
terkait mereka yang ada pada sumbu kekuasaan dan mereka yang ada di sekitar
sumbu tersebut). Kebijakan tersebut antara lain tidak ada kesetaraan dalam
akses sumber daya organisasi seperti fasilitas serta peluang untuk pengembangan
karir.
Hal yang paling menonjol adalah
kebijakan penggajian.Gap yang terlalu tinggi antara karyawan yang terendah dan
pimpinan tertinggi masih sangat besar di Negara kita.Gelombang demonstrasi
tahunan hanya demi memperjuangkan gaji minimum menunjukkan jauhnya
kesejahteraan bagi sebagian besar pekerja. Padahal, sistem kerja yang benar
adalah system yang memungkinkan konservasi manusia di masa depan. Kerja dengan
gaji yang diterima tidak boleh disempitkan pada kebutuhan saat ini. Kerja juga
harus menjadi jaminan bahwa manusia bisa hidup di masa depan, justru ketika
dirinya tidak lagi bisa melakukan banyak karena energy sudah habis (Riyanto,
2013:123). Dengan demikian, setiap orang yang bekerja berhak atas masa depan
yang layak dan manusiawi.
Persoalan ketidakadilan antar individu
sering dipicu oleh ketidakmampuan pimpinan dalam mengelola organisasi.Plato
(dalam Small, 2008) mengemukakan seorang yang menjadi pemimpin adalah
"raja yang filsuf" yang telah disiapkan melalui berbagai tahapan
pendidikan persiapan untuk tempat akhirnya mereka di masyarakat. Remaja putra
akan belajar berbagai literatur (dikenakan penyensoran), dan pengetahuan
militer, musik dan matematika. Pada usia 20 mereka akan menjalani pelatihan
lanjutan dalam matematika, pada usia 30 mereka akan mempelajari dialektika dan
filsafat moral, diikuti oleh 15 tahun pengalaman praktis. Sekitar usia 50,
mereka mungkin cocok untuk mencapai tingkat tertinggi pengetahuan, yaitu visi
"baik". Hal itu menyiratkan bahwa pemimpin haruslah seseorang yang
memiliki kompetensi dan disiapkan melalui proses suksesi yang jelas. Pada
banyak organisasi bisnis, kedekatan karena factor keluarga atau factor lain
yang tidak terkait dengan kompetensinya masih banyak mewarnai proses suksesi
yang terjadi.
Pemimpin yang kompeten akan lebih
cenderung menjadi pemimpin yang transformasional, mau memberdayakan bawahan ke
level kinerja yang lebih baik. Pemimpin kompeten akan mampu memberi pengharapan
pada bawahannya akan kehidupan yang lebih baik. Pengharapan memungkinkan manusia makin memanusiawi, bahkan bila
dirinya sudah berada di pinggiran kehidupannya (Riyanto, 2013:173). Dengan
demikian, pemimpin kompeten yang dapat memberi pengharapan kepada bawahannya,
merupakan pemimpin yang memungkinkan bawahannya untuk makin manusiawi.
Sebaliknya pemimpin yang kurang kompeten
akan cenderung mengandalkan otoritas formal yang dimiliki (SK atau Surat Tugas}
dalam melaksanakan fungsi kepemimpinannya. Mereka cenderung jatuh dalam sikap
otoriter atau sikap “cuci tangan” dengan berlindung pada aturan yang pada
konteks atau situasi dan kondisi tertentu harus ditafsirkan dengan cara yang
berbeda. “Saya hanya menjalankan tugas” atau “aturan yang ada memang demikian”
merupakan ungkapan-ungkapan “putus asa” dari mereka yang sebenarnya kurang
kompeten tapi diserahi tanggung jawab tertentu. Tidak mengherankan kalau kita
menemukan pimpinan yang telah mengambil kebijakan yang salah bahkan merugikan
organisasi yang sama sekali tidak mencerminkan ekspresi penyesalan atas apa yang
telah dilakukannya. Apakah banalitas juga mewarnai bisnis?Banalitas merupakan
kekerasan tapi pelakunya tidak melakukan tindakan irasional tapi rasional
sehingga memunculkan perasaan kebanggaan bukan penyesalan bagi si pelaku (bdk.
Riyanto, 2013:96). Pelaku bahkan merasa berjasa karena telah melakukan hukum
yang berlaku.Ketika kesadaran direduksi pada aturan, maka pertimbangan baik dan
buruk semata didasarkan pada hukum atau aturan yang ada.
Lalu, apakah keadilan mungkin
diwujudkan dalam lingkup bisnis dan bagaimana kita mengetahui kalau keadilan
telah terlaksana dalam suatu bisnis?Jawabannya adalah ketika setiap orang
melakukan apa yang menjadi tanggung jawabnya maka disitulah tercipta keadilan
(bdk. Riyanto, 2013: 80). Dengan adanya keadilan dalam bisnis maka organisasi
bisnis akan semakin manusiawi. Sebab, dengan adanya tatanan yang adil maka
kehidupan dan keluhuran martabat setiap manusia dibela dan dimuliakan (
Riyanto, 2013:81).
Penutup
Bisnis sering menampakkan “wajahnya”
yang tidak manusiawi bahkan mengarahkan dan atau menjadi “neraka” bagi
individu-individu yang terlibat di dalamnya.Akan tetapi, wajah tersebut bukan
bagian hakiki dalam bisnis. Dengan mengupayakan keadilan, tatanan bisnis pun
dapat menjadi tatanan dengan system kerja yang memenuhi pemuliaan keluhuran
manusia. Dalam tatanan yang sedemikian, individu dapat menemukan damai
(“surga”?).Damai adalah yang dengannya orang lain mendapatkan penghormatan
martabatnya. Damai terjadi ketika tidak ada dominasi terhadap yang lain.
Situasi dan kondisi “win-win” bukan “win-lose.”Damai tercipta dalam tata
relasi, hubungan setara antar mereka yang berelasi (bdk. Riyanto, 2013:91-92).
Itulah harapan akan bisnis yang manusiawi, suatu harapan yang masih perlu
perjuangan yang panjang tapi merupakan suatu harapan yang perwujudannya sangat
bernilai sehingga sangat pantas untuk terus diperjuangkan.
=o0o=
Daftar Pustaka
Bertens,
K. 2000. Pengantar Etika Bisnis. Yogjakarta: Kanisius
Riyanto,
Armada, Marcellius Ari Christy, Paulus Puyung Widodo. 2011. Aku
& Liyan: Kata Filsafat dan Sayap. Malang: STFT Widya Sasana.
Riyanto,
Armada. 2013. Menjadi-Mencintai: Berfilsafat Teologis Sehari-hari.
Yogjakarta: Kanisius
----------------------.
2014. Katolisitas Dialogal: Ajaran Sosial Katolik. Yogjakarta:
Kanisius
Small,
Michael W. 2004.Philosophy in Management: A new trend in management
development. The Journal of Management Development, Vol. 23 (2): 183-196.
Wren,
Daniel A. & Arthur G. Bedeian. 2009. The Evolution of Management Thought.
New York: John Wiley and Sons, Inc.
*)Tulisan
ini merupakan bentuk nyata eksistensi saya karena dengan ini saya berpikir.
Ketika saya tidak bertanya dan mempertanyakan, tidak pernah sangsi akan apapun,
menerima benar begitu saja, maka ketika itu saya tidak berpikir (Riyanto, 2013:
17). Descartes akan menyebut saya tidak memanusaiwi dan tidak “mengada”.
*)Tulisan
ini juga merupakan salah satu tugas dalam mata kuliah Filsafat yang diampu oleh
Prof. Dr. Armada Riyanto CM pada Program Doktor Ilmu Manajemen UKWMS
Bahan Diskusi:
Setelah
Saudara membaca tulisan di atas, bagian atau konsep manakah yang
menarik atau justru yang membingungkan? Selamat berdiskusi
MOHON PERHATIAN:
Meskipun tanggal 24 September 2015 tidak ada perkuliahan (hari raya), postingan baru tetap akan saya berikan sekitar tanggal tersebut. Terima Kasih