Whistleblowing Sebagai
Ungkapan Loyalitas Karyawan: Peran Employability dan Keberanian Moral Karyawan
(JULIUS RUNTU)
Artikel ini dipresentasikan pada Konferensi Nasional
Ke-6 Fakultas Bisnis UKWMS tahun 2013
Abstract
Disclosure of unethical and illegal practices performed by employees of a
company itself (whistleblowing) not only has the potential to cause problems
but also has managerial ethical issues. Debate about the practice of
whistleblowing is often associated with obligations towards employees loyal to
the company and have produced a different view. Certain parties see
contradiction between the practice of whistleblowing and employee loyalty while
others assume that there is no contradiction between the two. In this paper,
the author discusses the fact that in certain cases the practice of
whistleblowing is not only not contrary to employee loyalty but is even a
manifestation of loyalty. In other words, without doing whistleblowing, the
employee actually harms loyalty to the organization. Level of employability and
moral courage are important to perform or not perform the practice of whistleblowing.
Key Words: Whistleblowing, Employee Loyalty,
Employability, Moral Courage
Pendahuluan
Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor
penting dalam bisnis. Meskipun sebagian besar pekerjaan dalam suatu organisasi
telah diambil alih oleh teknologi, peran sumber daya manusia tidak mungkin tergantikan. Tuntutan
persaingan dalam bisnis yang semakin tinggi membuat organisasi harus memiliki
keunggulan dibanding dengan pesaing. Apabila organisasi hanya mengandalkan
keunggulan bidang teknologi, organisasi akan dengan mudah ditiru atau bahkan
dilampaui oleh pesaing. Sebab, teknologi adalah sesuatu yang dapat dengan mudah
diperoleh dan diadaptasi. Dengan demikian, keunggulan kompetitif justru lebih
banyak ditentukan oleh sumber daya manusia. Sumber daya manusia tersebut adalah
mereka yang kreatif, inovatif dan konsisten pada produk barang atau jasa yang
berkualitas. Permasalahannya, output
yang kreatif sangat sulit diukur.
Organisasi hanya bisa berharap mendapatkan upaya terbaik dari mereka dengan
cara meningkatkan semangat, antusiasme, dan kepercayaan karyawan dan terus
berupaya membuat mereka merasa menjadi bagian dari organisasi (Hallett, 1985). Ironisnya,
organisasi masih sering menemukan
perilaku karyawan yang menandakan bahwa mereka tidak merasa bagian dari organisasi.
Salah satu perilaku tersebut adalah praktek whistleblowing. Suatu perbuatan yang dalam perspektif
karyawan dapat merupakan ungkapan loyalitas terhadap organisasi tapi dari
perspektif organisasi justru dapat dilihat sebagai bentuk pelanggaran atas
loyalitas karyawan.
Dalam tulisan ini akan disoroti praktek whistleblowing dari sudut pandang etika
bisnis, terutama terkait dengan loyalitas, employability,
dan keberanian moral karyawan. Dengan
pembahasan tema ini diharapkan karyawan dapat mempraktekan suatu whistleblowing yang etis sedangkan dalam
konteks lain diharapkan organisasi dapat menempatkan praktek tersebut secara
tepat sebagai wujud partisipasi karyawan dalam organisasi. Suatu perilaku yang bukan saja tidak bertentangan dengan
loyalitas tapi justru merupakan salah satu bentuk perwujudan loyalitas terhadap
organisasi
Whistleblowing
Whistlelowing secara harafiah dapat diterjemahkan sebagai “peniupan
peluit”. Peluit dibunyikan selalu dengan tujuan agar pihak tertentu memberi
perhatian kepada si peniup peluit. Dalam organisasi, praktek menarik perhatian
pihak tertentu ini secara khusus digunakan untuk tindakan yang menunjukkan
ketidaksetujuan individu terhadap praktek tidak benar atau bahkan tidak etis
yang dilakukan suatu perusahaan. Apabila pengungkapan tersebut hanya ditujukan
kepada pihak terkait dalam perusahaan
maka disebut internal
whistleblowing. Sedangkan apabila pengungkapan itu dikemukakan ke publik maka
disebut sebagai external whistleblowing.
Dengan mengamati berbagai definisi yang ada, Jubb (1999) membatasi domain whistleblowing hanya sebatas sejauhmana
pengungkapan itu diajukan ke publik. Dengan demikian, dia tidak memasukkan internal whistleblowing, meskipun penulis
lain memasukkannya (Larmer, 1992) Hal itu dapat dipahami dalam konteks bahwa
persoalan dan dilema etis yang terkait dengan whistleblowing umumnya muncul pada kasus-kasus external whistleblowing (Bertens, 2004). Pengertian whistleblowing dalam tulisan ini adalah
pengertian yang lebih umum yaitu dengan mengadopsi definisi Near & Miceli (1985, dalam
Barnet, 1992) yang mendefinisikan whistleblowing
sebagai: “penyingkapan yang dilakukan oleh anggota suatu organisasi akan
praktek-praktek illegal, tidak
bermoral atau tidak sah yang dilakukan oleh organisasi tersebut, kepada pribadi
atau organisasi yang mampu bertindak untuk mempengaruhi praktek-praktek tersebut.
Penggunaan
istilah whistleblowing pertama kali
digunakan tahun 1963 ketika salah satu penjabat
mengungkapkan praktek tidak etis terkait kebijakan di departemen dalam negeri
Amerika Serikat (Vinten, 2000). Selanjutnya, praktek-praktek whistleblowing semakin dikenal dengan
latar belakang pengungkapan tidak terbatas pada organisasi publik tetapi juga
sektor swasta. Barnet (1999) meneliti tentang pengaruh ukuran organisasi, serikat pekerja dan jenis industri terhadap
kecenderungan karyawan untuk melakukan whistleblowing.
Semakin besar ukuran suatu organisasi maka semakin besar kemungkinan
karyawannya melakukan tindakan whistleblowing.
Demikian juga halnya dengan semakin kuatnya serikat pekerja dalam organisasi
tersebut. Jenis industri manufaktur merupakan
organisasi di mana karyawannya lebih mudah melakukan whistleblowing. Dalam bidang jasa, Vinten (2000) mengangkat kasus whistleblowing yang terjadi di University
College, Swansea’s Centre for Philosophy and Health Care terkait standart
yang digunakan dalam sistem penilaian mahasiswa termasuk disertasi yang
dianggap tidak fair. Dengan demikian, praktek whistleblowing terjadi baik pada perusahaan manufaktur maupun
perusahaan jasa.
Praktek
whistleblowing merupakan tindakan
etis jika memenuhi persyaratan sebagai berikut (Bowi, 1992 dalam Vinten, 2000):
- Motivasi untuk melakukannya adalah untuk menghindari dampak buruk yang tidak perlu pada orang lain.
- Sudah melakukan prosedur internal perusahaan sebelum membukanya ke publik
- Memiliki bukti-bukti yang kuat dan masuk akal
- Persepsi bahwa akan ada dampak serius jika hal itu tidak diungkapkan
- Pengungkapan itu merupakan bagian dari tanggung jawabnya
- Ada kemungkinan untuk berhasil.
Sedangkan, De George (dalam Lindblom, 2007)
mengemukakan 3 kondisi yang memperbolehkan praktek whistleblowing yaitu: kerugian pada pihak lain cukup besar karena
praktek tidak etis dan atau tidak legal dari perusahaan, karyawan yang
mengetahui hal tersebut melaporkan pada atasan langsung, telah menempuh
prosedur formal lainnya di dalam organisasi ketika diabaikan oleh atasan
langsung.
Loyalitas
Karyawan
Secara tradisional, loyalitas karyawan dipahami
sebagai sesuatu yang dengan sendirinya tercipta. Ketika seseorang bergabung
dengan perusahaan, dengan sendirinya dia akan bersikap loyal, bertahan dalam
organisasi dan melakukan yang terbaik untuk organisasi. Di lain pihak,
organisasi diasumsikan akan selalu memperhatikan perkembangan karyawan,
memberikan yang dibutuhkannya. Dalam wacana Manajemen Sumber Daya Manusia,
asumsi itu disebut Kontrak Psikologis. Kontrak psikologis merupakan dasar
adanya loyalitas karyawan. Akan tetapi, dengan meningkatnya persaingan bisnis
saat ini, kontrak psikologis tinggal menjadi prioritas terakhir bagi
perusahaan. Hal itu terjadi seiring dengan perubahan penekanan perusahaan yaitu
lebih pada profit, efisiensi dan kepentingan pemilik saham (Obilade, 1998). Perusahaan tidak menghargai
loyalitas karyawan seperti dalam praktek
tradisional yaitu dengan memberi pekerjaan yang baik, kepastian dan keamanan
pekerjaan serta keuntungan bagi karyawan. Karyawan tetap justru mulai digeser
dengan tenaga kontrak atau tenaga lepas. Akibatnya, karyawan semakin tidak
percaya bahwa perusahaan akan peduli dengan mereka. Dalam konteks inilah loyalitas
tidak mungkin dianggap sebagai sesuatu yang terjadi dengan sendirinya ketika
seorang karyawan bergabung dalam perusahaan. Apabila perusahaan menginginkan
seorang karyawan yang loyal, perusahaan harus mengupayakannya.
Loyalitas
karyawan dipahami sering terbatas pada kesediaan karyawan untuk tinggal dalam
organisasi. Bahkan secara ekstrim, Boroff and Lewin (1999) mengemukakan bahwa:
loyal berarti tetap bertahan dalam organisasi
dan “menderita dalam kesunyian”
bahkan ketika karyawan sadar dan percaya
bahwa mereka diperlakukan tidak adil oleh organisasi. Sedangkan Porter (1974) melihat
loyalitas sebagai rasa memiliki yang diwujudkan dalam keinginan untuk tetap
bertahan dalam organisasi. Suatu kepercayaan terhadap organisasi dan manajemen
bahwa mereka melakukan hal-hal yang baik.
Coughan (2005, dalam Ross & Ali, 2011)
mengemukakan kesulitan dalam mendefinisikan loyalitas karyawan disebabkan oleh karena
dalam beberapa penelitian loyalitas sering dicampuradukan dengan komitmen
karyawan. Dalam tulisan ini, penulis
cenderung mengadopsi pendapat Antoncic
& Antoncic (2011) yang melihat loyalitas
terhadap organisasi sebagai suatu tingkatan sejauh mana seorang karyawan merasa
menjadi bagian dari organisasi. Menjadi bagian dari organisasi merupakan
tingkatan lebih tinggi dibanding dengan “tetap tinggal” dalam organisasi hanya
karena memiliki komitmen kontinuans (tetap bertahan karena resiko yang dihadapi
jika meninggalkan organisasi itu lebih besar). Karyawan tetap tinggal juga
tidak semata karena komitmen normative
(harus patuh karena memang sudah seharusnya begitu, sesuai norma yang ada)
tetapi loyalitas harus terkait sampai pada komitmen affektif (Ross &
Ali,2011), dalam mana karyawan sungguh merasa bahwa “suka-duka” organisasi
adalah “suka-duka”-nya juga. Oleh karena itu loyalitas mencakup kesediaan untuk
tetap bertahan, memiliki produktivitas yang melampaui standard, memiliki perilaku
altruis, serta adanya hubungan timbal balik di mana loyalitas karyawan harus
diimbangi oleh loyalitas organisasi terhadap karyawan (Powers, 2000).
Ada
16 indikator yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi loyalitas karyawan
sebagaimana dikemukakan Powers (2000), yaitu:
- Tetap bertahan dalam organisasi
- Bersedia bekerja lembur untuk menyelesaikan pekerjaan
- Menjaga rahasia bisnis perusahaan
- Mempromosikan perusahaan kepada pelanggan dan masyarakat umum
- Menaati peraturan tanpa perlu pengawasan yang ketat
- Mau mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan organisasi
- Tidak bergosip, berbohong atau mencuri
- Membeli dan menggunakan produk perusahaan
- Ikut berkontribusi dalam kegiatan social perusahaan
- Menawarkan saran-saran untuk perbaikan
- Mau berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan aksidental perusahaan
- Mau mengikuti arahan atau instruksi
- Merawat properti perusahaan dan atau tidak memboroskannya
- Bekerja secara aman
- Tidak mengakali aturan perusahaan termasuk ijin sakit
- Mau bekerja sama dan membantu rekan kerja.
McCusker & Wolfman (1998) mengemukakan bahwa dalam
perubahan lingkungan bisnis yang sangat cepat di mana pertumbuhan produktifitas
dan profitabilitas perusahaan semakin kritis, pertanyaan besar yang selalu
dihadapi Manajer Sumber Daya Manusia adalah bagaimana membangun dan
mempertahankan loyalitas yang tinggi dari karyawannya. Tingkat turnover yang tinggi sebagai salah satu
akibat dari rendahnya loyalitas karyawan tidak hanya berdampak pada
meningkatnya biaya terkait sumber daya manusia. Perusahaan juga dapat kehilangan
sumber daya mamusia yang kompeten untuk memenangkan persaingan. Di lain pihak,
trend kebijakan perusahaan seperti penerapan outsourching, perampingan struktur, serta penggabungan perusahan
(merger) semakin meningkatkan job
insecurity yang pada akhirnya berdampak negatif terhadap loyalitas
karyawan. Pemahaman dan pengimplementasian berbagai program untuk loyalitas
karyawan semakin mendesak untuk dilakukan oleh manajer sumber daya manusia
khususnya dan perusahaan pada umumnya.
Salah satu survey tentang loyalitas yang dikutip
Drizin & Schneider (2004) menunjukkan bahwa pendorong utama untuk loyalitas
karyawan adalah fairness. Hal itu
mencakup: fair dalam penggajian, fair dalam penilaian kinerja, dan fair dalam
perumusan dan pengimplementasian kebijakan. Sedangkan Mc Quiness (1998)
mengemukakan bahwa komunikasi yang efektif dalam suatu perusahaan akan
berdampak pada loyalitas karyawan. Peran komunikasi dalam meningkatkan
loyalitas karyawan ini didukung oleh Smith & Rupp (2006).
Penurunan loyalitas umumnya disebabkan oleh
ketidakpercayaan terhadap keputusan dan kebijakan organisasi, buruknya
komunikasi dan aliran informasi internal, serta gaya kepemimpinan dalam
organisasi (Antoncic & Antoncic, 2011). Oleh karena itu, loyalitas harus
dibangun antara lain melalui pengelolaan struktur, budaya, dan kepemimpinan
dalam organisasi (Cunha, 2002), meningkatkan partisipasi dalam pengambilan
keputusan, komunikasi efektif dan terbuka, pengembangan saling percaya,
pengembangan karir, serta penggajian berdasarkan produktivitas, dan
fleksibilitas tunjangan (McGuinness, 1998).
Loyalitas karyawan juga dapat dibangun melalui
hubungan yang baik antara atasan dan bawahan. Membangun hubungan saling percaya
satu sama lain merupakan satu bentuk kompensasi yang sangat bermakna bagi
karyawan. Karyawan harus tahu bahwa atasan mereka memperlakukan mereka sebagai
pribadi tidak sekedar “sumber daya” sebelum mereka termotivasi untuk memberi
yang terbaik bagi organisasi (Boltax, 2011). Loyalitas karyawan itu ada dalam
satu perusahaan apabila karyawan percaya bahwa dalam tujuan perusahaan ,
karyawan dapat mencapai tujuan mereka.
Whistleblowing
sebagai ungkapan loyalitas karyawan
Whistleblowing sering hanya dilihat semata-mata suatu tindakan yang merugikan perusahaan. Pengungkapan suatu
praktek tidak etis, tidak legal, atau tidak legitimate memang sering berdampak pada
citra perusahaan yang menurun di mata publik. Bahkan dalam kasus tertentu,
perusahaan harus mengeluarkan ganti rugi atas praktek yang telah dilakukan. Sikap
negative organisasi terhadap praktek whistleblowing
lebih disebabkan oleh karena organisasi tidak mau/mampu melihat manfaat whistleblowing untuk jangka panjang.
Apabila praktek salah dalam perusahaan tersebut tidak diungkap, tidak tertutup
kemungkinan ketika hal itu terungkap tanpa peran whistleblower, kerugian yang dialami pihak terkait sudah lebih
besar sehingga berakibat pada ganti rugi yang harus dikeluarkan organisasi akan
lebih besar pula. Organisasi juga akan membutuhkan sumber daya yang lebih besar
untuk memperbaikinya. Dengan demikian berdampak pada waktu yang dibutuhkan
untuk recovery akan lebih lama.
Dalam konteks tersebut di atas maka dapat dipahami pernyataan
Varelius (2009) bahwa whistleblowing tidak bertentangan dengan
loyalitas. Loyalitas karyawan selalu
menuju ke sesuatu yang baik yaitu kemajuan perusahaan. Demikian juga
halnya dengan whistleblowing
diarahkan ke sesuatu yang baik yaitu memperbaiki praktek tidak benar agar
perusahaan dapat lebih maju. Larmer
(1992) bahkan mengatakan bahwa karyawan tetap loyal terhadap perusahaan ketika
karyawan melakukan external
whistleblowing dengan alasan melindungi dirinya dari perilaku tidak fair
dari perusahaan. Karyawan loyal tidak
diwajibkan untuk melakukan apa yang secara moral adalah salah.
Ada tiga kewajiban karyawan terhadap perusahaan yang
dikategorikan penting oleh Bertens (2004), yaitu ketaatan, konfidensialitas dan
loyalitas. Kewajiban loyalitas diimplementasikan karyawan dengan melibatkan
diri pada upaya-upaya untuk merealisasikan tujuan-tujuan perusahaan.
Praktek-praktek bisnis yang tidak etis yang dilakukan individu dalam perusahaan
dapat menghalangi tercapainya tujuan perusahaan. Karyawan yang loyal tentu saja
diharapkan bahkan diwajibkan untuk mencegah tindakan-tindakan yang merugikan
perusahaan. Salah satu cara untuk mengatasi persoalan tersebut adalah
melaporkan perilaku-perilaku tidak etis tersebut kepada pihak tertentu yang
dapat mempengaruhi atau mencegah praktek tersebut berlanjut. Dengan demikian,
praktek whistleblowing yang etis itu
bukan sekedar suatu perbuatan yang tidak bertentangan dengan loyalitas karyawan
tapi justru merupakan salah satu perwujudan loyalitas karyawan terhadap
perusahaan.
Karyawan yang akan melakukan whistleblowing sebagai bentuk perwujudan loyalitas tetap dituntut
untuk memperhatikan dampak setelah melakukannya
baik terhadap diri sendiri maupun pihak lain. Whistleblowing diijinkan jika akibatnya lebih banyak memiliki dampak
positif daripada negatif (Lindblom.2007). Oleh karena itu, sebelum melakukan whistleblowing, seseorang harus
melakukan beberapa hal antara lain (James, 1994, dalam Vinten, 2000):
- Yakin bahwa situasi yang dihadapi memang menuntut praktek whistleblowing
- Menguji alasan mengapa mau melakukannya
- Verifikasi dan dokumentasikan informasi yang dimiliki
- Menentukan tipe praktek yang tidak benar dan kepada siapa hal itu akan dilaporkan
- Merumuskan pernyataan/ dugaan dengan cara yang paling tepat
- Fokus pada fakta
- Putuskan apakah akan dilakukan secara internal atau eksternal
- Putuskan apakah akan dinyatakan secara terbuka atau anonim
- Yakinkan bahwa telah mengikuti semua prosedur dalam pelaporan praktek yang salah
- Konsultasi dengan pengacara
- Antisipasi pembalasan dendam
Pengaruh
Tingkat Employability dan Keberanian Moral terhadap Keputusan Melakukan Whistleblowing
Lieberman (2004) mendefinisikan keberanian moral
sebagai keberanian untuk bertindak sesuai dengan 5 prinsip universal, yaitu: honesty, fairness, respect, responsibility,
dan compassion. Keberanian moral
merupakan suatu kualitas pikiran dan mental yang memungkinkan seseorang mampu
menghadapi tantangan etika terkait perusahaan dan konfidensialitas. Keberanian
moral merupakan sikap mental yang dimiliki seorang individu untuk melakukan
sesuatu yang dianggapnya benar meskipun dia harus mengalami hal-hal yang tidak
diharapkan. Keberanian moral menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap
mempertahankan sikap yang telah diyakini sebagai suatu kewajiban pun pula
apabila tidak disetujui atau secara aktif dilawan oleh lingkungan
(Magnis-Suseno, 1993).
Survey yang dilakukan Verschoor (2006) tentang alasan
seorang anggota organisasi tidak melakukan whistleblowing
menunjuk pada tiga alasan, yaitu: 1) ketakutan akan pembalasan; 2) anggapan
bahwa organisasi tidak akan menanggapi; 3) tidak ada jalur yang aman untuk
mengungkapkannya. Seorang whistleblower
umumnya akan berhadapan dengan mereka yang terkait langsung dengan praktek
tidak etis dalam organisasi. Dengan demikian maka pilihan untuk melakukan whistleblowing akan menempatkan
seseorang pada posisi tidak aman. Individu yang tidak memiliki keberanian moral
yang kuat akan cenderung untuk mencari posisi yang aman sehingga menutup
kemungkinan untuk melakukan tindakan whistleblowing.
Selain
harus memiliki sikap kepribadian moral yang kuat yang antara lain tercermin
dalam keberanian moral, seorang karyawan dituntut untuk terus mengembangkan
diri terutama terkait profesinya sehingga tingkat employability-nya bertambah. Employability
merupakan kemampuan untuk mendapatkan pekerjaan lain di pasar tenaga kerja
(Silla, et al. 2009). Secara lebih luas, McLeis (2002, dalam Clarke, 2008)
mendefinisikan employability sebagai
kemampuan individu untuk menemukan suatu pekerjaan, mempertahankan suatu
pekerjaan, dan berpindah dari satu pekerjaan atau industri ke pekerjaan atau
industri lainnya. Employability lebih
merupakan tanggung jawab individu daripada organisasi (Clarke & Patrickson,
2008).Individu harus bertanggung jawab untuk pengembangan personalnya dan dapat
melihat karirnya lebih luas tidak hanya antar bagian dalam satu organisasi
tetapi lintas industri (O’Donoghue & Maquire, 2005). Dengan demikian,
individu harus terus mengembangkan diri bukan hanya untuk memenuhi tuntutan
pekerjaan dalam organisasi saat itu tapi tuntutan kompetensi pekerjaan pada
jenis industri yang sama.
Orang yang memiliki tingkat employability rendah akan cenderung tidak berani mengambil resiko
untuk “berseberangan” dengan perusahaan. Hal itu disebabkan oleh ketakutan
mereka akan kesulitan untuk menemukan pekerjaan yang baru jika mereka menerima
“balas dendam” terberat yaitu dipecat dari organisasi tersebut. Mereka akan
terkungkung pada loyalitas semu yaitu menunjukkan loyalitas pada sekedar
bertahan dalam perusahaan dan (meminjam ungkapan Boroff & Lewin) “menderita dalam kesunyian” karena tetap diam
meski diperlakukan tidak fair oleh perusahaan. Tanpa memiliki keberanian moral dan tingkat employability yang tinggi, seseorang
akan sulit untuk melakukan whistleblowing.
Simpulan
Setelah
membahas praktek whistleblowing dalam
kaitan dengan loyalitas, employability,
dan keberanian moral, ada 4 hal yang dapat disimpulkan dalam pembahasan ini,
yaitu:
- Organisasi tidak selalu harus melihat praktek whistleblowing sebagai sesuatu yang mencederai loyalitas karyawan
- Karyawan yang hendak melakukan whistleblowing harus dapat mengikuti prosedur yang etis
- Praktek whistleblowing yang etis bukan saja tidak melanggar loyalitas karyawan tetapi justru merupakan ungkapan loyalitas karyawan terhadap organisasi
- Keberanian Moral dan Tingkat Employability karyawan sangat menentukan apakah karyawan tersebut akan melakukan praktek whistleblowing
Kepustakaan:
Antoncic, Jasna Auer dan Bojan Antoncic. 2011.
Employee Loyalty and Its Impact on Firms Growth. International Journal of
Management and Information Systems, Vol.15 (1): 81-87.
Barnet, Tim. 1992. A Preliminary Investigation of the
relationship Between Selected Organizational Characteristics and External
Whistleblowing by Employees. Journal of Business Ethics, Vol. 11
(12): 949-959
Bertens, K. 2004. Pengantar Etika Bisnis. Yogjakarta:
Kanisius
Boltax, Jason. 2011. Love ‘Em or Lose ‘Em: Retaining
Talented Employees, CPA Practice Management Forum, Novembre 2011: 19-22
Boroff, Karen E. dan David Lewin.1997. Loyalty, Voice,
and Intent to Exit a Union Firm: A
conceptual and empirical analysis. Industrial and Labour Relation Review,
Oct. Vol. 51 (1): 50-63
Clarke, Marilyn. 2008.Understanding and Managing
Employability in Changing Career Contexts. Journal of European Industrial Training.
Vol. 32 (4): 258-284.
Clarke, Marilyn dan Margaret Patrickson. 2008. The New
Convenant of Employability. Employee Relations, Vol. 30 (2):
121-141.
Cunha, Miquel Pinae. 2002. “The Best Place to Be”:
Managing Control and Employee Loyalty in a Knowledge Intensive Company. The
Journal of Applied Behavioral Science, Dec 2002, Vol. 8 (2): 481-495
Hallet, Jeffrey J. 1985. The New 80/20 Rule: Human
Resources are Today’s Competitive Factor. The Personnel Administrator, Vol. 30
(3): 16
Jubb, Peter B. 1999. Whistleblowing: A restrictive
definition and interpretation. Journal of Business Ethics, Vol. 21
(1): 77-94
Larmer, Roberts A. 1992. Whistleblowing and Employee Loyalty.
Journal of Business Ethics, Feb. Vol.11 (2): 125-128
Lieberman, E. James. 2004. Moral Courage: Ethics in
action. Library Journal. Vol 129 (20): 143.
Lindblom, Lars. 2007. Dissolving the Moral Dilemma of
Whistleblowing. Journal of Business Ethics, 76: 413-426.
Magnis-Suseno. 1993. Etika Dasar: Masalah-masalah
pokok filsafat moral. Yogjakarta: Kanisius.
McCusker, Deb dan Ilene Wolfman. 1998. Loyalty in the
Eyes of Employers and Employees. Workforce, Novembre 1998: 12-14
McGuinnes, Barbara M. 1998. The Change in Employee
Loyalty. Nursing Management, Vol. 29 (2): 45-46
Miceli, Maria P. dan Janet P. Near. 1994.
Whistleblowing: Reaping the benefits. The
Accademy of Management Executive, Vol. 8 (3): 65-71
O’Donoghue, John & Theresa Maquire.2005.The Individual
Learner, Employability and the Workplace. Journal of European Idustrial Training.
Vol.29 (6): 436-446.
Obilade, Sandra. 1998. Redefining Loyalty:
Motivational Strategies and Employee Loyalty in an Era of Downsizing. New England Journal of Entrepreneurship.
Summer, Vol. 1 (1): 31-41
Powers, Edward L. 2000. Employee Loyalty in the New
Millenium. S.A.M. Advanced Management Journal. Summer, Vol. 65 (3): 4-8
Ross, Peter dan Yunus Ali, 2011. Antecedents of
Employee Loyalty in an Emerging Economy: The Malaysian Multimedia Super
Corridor. Labor and Industry, Vol.22 (1/2) August/December: 25-55
Silla, Immaculada,Nelle De Cuyper, Francisco J.
Gracia, Jose M. Peiro. 2009. Job Insecurity and Well-Being: Moderation by
Employability. J. Happiness Stud. 10: 739-751.
Smith, Alan D. dan William T. Rupp. 2002.
Communication and Loyalty among
Knowledge Worker: A resource of the firm theory view. Journal of Knowledge Management,
Vol. 3: 250-261.
Valerius, Jukka. 2009. Is Whistleblowing Compatible
with Employee Loyalty? Journal of Business Ethics, Vol. 85:
263-275.
Verschoor, Curtis C. 2006. Surveys Show Ethics Problem
Persist. Strategic Finance, Vol. 88 (4): 19-21.
Vinten, Gerald. 2000. Whistleblowing towards Quality. The
TQM Magazine, Vol.12 (3):166-171
BAHAN DISKUSI:
Pada artikel di atas,
penulis mengutib pendapat Powers (2000) tentang 16 indikator loyalitas karyawan
dalam satu organisasi.
- Jika Saudara seorang KARYAWAN, manakah indiKator yang PALING SULIT Saudara penuhi agar Saudara dapat disebut loyal dalam suatu organisasi? Mengapa?
- Jika Saudara seorang KARYAWAN, manakah indikator yang PALING MUDAH Saudara penuhi agar Saudara dapat disebut loyal dalam suatu organisasi? Mengapa?
- Jika Saudara seorang PIMPINAN/MANAJER, manakah indikator yang PALING PENTING yang harus dimiliki oleh bawahan/karyawan agar mereka bisa Saudara anggap sebagai karyawan yang loyal? Mengapa?
Selamat Berdiskusi……