(Julius Runtu)
Sumber: Fakultas Bisnis
UKWMS. 2010. The 1st 45 Years: Economic Transformation, 78-86. Surabaya: FBUKWMS
Beberapa
bulan terakhir ini, dinamika fakultas sungguh-sungguh berubah. Hal itu Nampak
dalam berbagai aktivitas konkrit yang tidak rutin maupun dalam tataran wacana.
Persiapan dan akhirnya perubahan fakultas menjadi Fakultas Bisnis telah
menyedot energy baik secara fisik (dengan berbagai acara seremonial), pikiran
(dengan berbagai acara berlabel ilmiah) maupun psikis dari segenap sivitas
akademika. Wajah-wajah sumringah menyambut “kelahiran nama
baru” yang telah “dikandung” bertahun-tahun dalam rahim wacana akademis,
terkadang harus merengut bersitatap dengan wajah apatis bahkan ketus menyikapi
perubahan yang ada. “Fakultas Bisnis, kok begini!” ; “Yang ini saja tidak ada,
mengapa berubah!”; “Jangan sekedar ganti nama, ya”; serta rentetan litani
keraguan tiada henti. Ada
apa denganmu Fakultas Bisnis?
Harapan Akan Perubahan Konkrit
Pertanyaan-pertanyaan
bernada keraguan itu sesungguhnya menyiratkan adanya harapan akan sesuatu yang
lebih. Boleh jadi sesuatu yang bukan sekedar impian mengingat kadang ada impian yang tidak menjadi kenyataan! Mungkin
harapan yang cukup realistis, karena lebih mungkin untuk terwujud. Sebab,
harapan selalu dibangun berdasarkan realitas sekarang dan masa lalu,
dikonfrontasikan dengan berbagai peluang dan ancaman yang ada, lalu
diproyeksikan menjadi satu kondisi di masa depan yang diinginkan. Persoalan
yang muncul adalah perubahan seperti apa yang harus diupayakan agar harapan itu
menjadi kenyataan? Perubahan mana yang lebih mudah untuk dilakukan? Perubahaan manakah yang paling mendesak untuk
dilakukan? Perubahan di bidang manakah yang berdampak lebih signifikan terhadap
organisasi? Apapun perubahan itu, tetapi yang lebih penting adalah perubahan
itu harus konkrit dan tidak sekedar perubahan di permukaan kulit saja.
Suatu Laboratorium Bisnis
Mungkin
kita sudah menonton beberapa episode film Harry Potter. Kita mungkin kagum
dengan bagaimana JK Rowling penulisnya menggambarkan sekolah sihir Hogwarts
tempat si Harry menimba ilmu dengan amat detil dan menarik. Para calon murid
harus naik kereta api dan duduk di gerbong 9¾. Mereka juga diterima di
auditorium yang plafonnya telah “disihir” sehingga bintang-bintang di malam
hari dapat kelihatan. Tanpa dipasangi gapura bertuliskan sekolah sihirpun para
siswa sudah dapat mengetahui di mana mereka sedang berada.
Kembali
ke dunia nyata, bagaimana dengan Fakultas Bisnis? Apakah atmosphere bisnis akan
terasa saat seseorang berinteraksi dalam lingkup Fakultas Bisnis? Pertanyaan
“nakal” ini mungkin akan segera ditimpali: “Ini pendidikan bisnis bukan bisnis
pendidikan!” Tapi, manakah lebih dulu ada, suatu konsep atau realitas yang
diwakilkan oleh konsep itu? Kalau benar memang ada konsep “bisnis pendidikan”
berarti ada realitas “bisnis pendidikan” yang bersama realitas lain yang
memakai embel-embel bisnis akan masuk juga dalam ranah bisnis. Kalau sudah
demikian, bukankah dia juga harus mengadopsi frase-frase bisnis seperti
“layanan prima”, “kepuasan pelanggan”, “perbaikan berkelanjutan”, komitmen organisasional”,
dan seterusnya? Ataukah semua itu memang bisa diajarkan tanpa tuntutan untuk
mengimplementasikan terlebih dahulu dalam lingkup tertentu di mana “sang guru”
bertahta? Bukankah orang Romawi kuno telah mengingatkan bahwa: nemo dat quod non habet, seseorang tidak
dapat memberikan apa yang tidak dia
miliki?
Demikian
juga halnya dengan organisasi, tentu tidak dapat memberikan sesuatu yang tidak
dimilikinya. Pada tataran tertentu, seseorang tidak bisa meminta orang lain
melakukan apa yang dia sendiri tidak bisa atau tidak mampu lakukan. Kenyataan
ini menuntut Fakultas Bisnis untuk menjadi laboratorium mini bisnis.
Laboratorium memang tidak pernah sama dengan “dunia nyata” tetapi minimal dapat
menjadi tempat yang cukup ideal untuk menjadi ajang uji coba berbagai konsep
yang telah, sedang, dan akan diajarkan. Persoalannya, bagaimana mewujudkan dan
atau mengkondisikan harapan itu?
Perspektif
Manajemen Sumber Daya Manusia
Berbicara
tentang perubahan, konsep pengelolaan sumber daya manusia telah mengalami
banyak perubahan. Semula hanya sekedar menangani administrasi kepegawaian
(bagian personalia) kemudian berkembang menjadi departemen tersendiri dengan
embel-embel departemen manajemen sumber daya manusia (lih. Sculler, et al.,
2001). Perubahan itupun belum cukup, peran MSDM masih dilihat “sebelah mata”
oleh banyak organisasi sehingga pengelola di departemen itu lebih dipercayakan
pada mereka yang dianggap mampu memahami (kejiwaan?) pekerja atau mereka yang
dianggap mampu mengatasi persoalan hukum jika terjadi masalah terkait pekerja.
Departemen MSDM harus berperan lebih dari itu! Tapi bagaimana? Muncul akhirnya
yang disebut Strategic Human Resources
Management (SHRM). Pengelolaan SDM harus matching dengan strategi bisnis perusahaan (bdk. Becton &
Schraeder, 2009; Wang & Shyu, 2008; Chang & Huang, 2005). Kalau
demikian, pengelolanya harus yang mengerti bisnis juga. Kalau perusahaan
menerapkan strategi cost leadership,
jangan merekrut orang yang terlalu kreatif, sebaliknya jika strategi inovasi
yang digadang-gadang perusahaan.
Apakah para pekerja akhirnya merasa
nyaman dengan perubahaan itu? Ternyata tidak selalu demikian. Kaye (1999) mensinyalir
bahwa upaya-upaya pengelolaan SDM dengan me-match-kan
dengan strategi perusahaan tidak dengan sendirinya melepaskan karyawan dari
perlakuan sebagai suatu komoditas di pasar tenaga kerja. Kalau mau, silahkan
bergabung tapi kami hanya menyediakan fasilitas seperti ini (toh banyak yang
butuh pekerjaan!). Kalau mau, statusnya kontrak saja (lumayan tidak perlu
menyiapkan biaya tambahan untuk pensiun!). Atau, outsourching sajalah (ketika tidak cocok, tinggal mengajukan klaim
sehingga diganti atau tidak memperpanjang MOU dengan pengerah tenaga kerja).
Kondisi ini merupakan masa “bulan
madu” bagi pengelola SDM dan pemilik bisnis. Efisiensi dan pada akhirnya
profitabilitas perusahaan meningkat (bdk. Lepak & Snell, 1999). Di pihak
pekerja, tingkat kepuasan menurun, komitmen yang ada tinggal komitmen
kontinuans (terpaksa bertahan karena tidak ada atau sulit mencari pekerjaan
lain). Demikian pula halnya dengan job
insecurity (ketidakpastian pekerjaan) melenjit naik tak terkontrol oleh
sang pekerja (bdk. Kaye, 1999) dan bahkan memang semakin tak terhindarkan oleh
perusahaan dalam persaingan yang semakin ketat (Pfeffer & Fega, 1999, dalam
Hassan, et al. 2006)? Bagaimana dengan Fakultas Bisnis UKWMS? Itukah gambaran
bisnis yang telah, sedang, dan akan diajarkan?
Taking care of business by taking
care of employees and customers
Saya tidak bermaksud masuk dalam
perdebatan apakah pelanggan fakultas bisnis adalah mahasiswa ataukah orang tua
mahasiswa. Menurut saya, kedua-duanya sekaligus yang dimaksudkan pelanggan.
Konsekuensinya, mahasiswa harus “dipuaskan” dengan cara yang tidak menyalahi
harapan orang tua akan pendidikan berkualitas yang diterima anaknya dengan cara
yang tepat. Sedangkan pekerja adalah semua yang terkait dengan upaya
“memuaskan” tersebut, mulai dari pengambil keputusan tertinggi dalam system
sampai mereka yang “beruntung” cukup mengambil keputusan untuk diri sendiri dan
(pihak lain yang terkait dengan) pekerjaannya. Apa yang mungkin dapat dilakukan
fakultas bisnis dan pihak lain yang “berpengaruh” padanya?
Lepak & Snell (1999) membagi
arsitektur MSDM dalam 4 kuadran. Berdasarkan pengamatan pada apa yang sedang
dan direncanakan fakultas terkait dengan SDM-nya, Fakultas Bisnis UKWMS
cenderung berada pada kuadran I yang mana dicirikan oleh investasi yang cukup
besar pada pengembangan sumber daya manusia. Konsekuensi keberadaan pada
kuadran tersebut menurut Lepak & Snell (1999) adalah perlunya prioritas
pada membangun komitmen karyawan terhadap organisasi. Beberapa praktek MSDM
yang dapat diimplementasikan ataupun dioptimalkan bagi Fakultas dalam kuadran
ini adalah:
1. Proses Rekrutmen: Antara Person-Job Fit dan Person-Organization Fit
Certo
(2003) dalam menekankan pentingnya
kesesuaian karyawan dengan apa yang akan dikerjakannya. Akan tetapi, Hassan, et
al. (2006) melihat pentingnya kesesuaian karyawan dengan organisasi. Dalam
rekrutmen tentu saja diharapkan pelamar yang memiliki kesesuaian dengan
pekerjaan sekaligus dengan organisasi. Akan tetapi, apabila harus jika yang
terpenuhi hanya salah satu, masih lebih baik apabila karyawan fit dengan
organisasi. Fit dengan pekerjaan dapat diupayakan melalui pelatihan atau
pengembangan lainnya. Fit dengan organisasi lebih sulit karena sering terkait
dengan bagaimana mengupayakan kesesuaian
karakter pekerja dengan budaya organisasi. Tantangannya adalah
kesesuaian seseorang dengan pekerjaan dapat lebih mudah diidentifikasi
dibanding kesesuaiannya dengan organisasi. Akibatnya, organisasi lebih “tertarik” untuk
menekankan kesesuaian pekerja dengan pekerjaan.
Pekerja
yang terus menerus mengeluh atau bahkan menjelek-jelekan organisasi dapat saja
menjadi salah satu tanda ketidaksesuaiannya dengan organisasi. Selain berdampak
pada komitmen karyawan lain, hal itu dapat berdampak langsung pada kinerja
organisasi secara keseluruhan karena dapat menyedot energi lebih banyak dari
para pengambil keputusan mulai dari level coordinator suatu kepanitiaan sampai
pada level tertinggi organisasi. Oleh karena itu, perlu mekanisme yang jelas
bagaimana memperlakukan orang-orang yang akhirnya merasa atau dirasa tidak fit
dengan organisasi agar mereka tidak “terjebak” dalam organisasi untuk waktu
yang lama.
2. Talent
inventory
Inventarisasi
kompetensi yang dimiliki SDM organisasi sangat penting bagi organisasi.
Inventory ini akan memudahkan pengembangan atau ketika dianggap perlu melakukan
job enlargement, job rotation. Organisasi akan lebih mudah menyusun portofolionya.
Hal itu akan menghilangkan timbulnya kesan bahwa mereka yang tidak bisa menolak
akan terus menerus menjadi “korban” limpahan tugas yang diberikan atasan,
karena penugasan diberikan sudah berdasarkan pertimbangan atas data yang ada.
Atau sebaliknya, fasilitas pengembangan disinyalir hanya diberikan kepada
mereka yang dekat dengan para pengambil keputusan. Adanya suatu system yang
mudah dipakai dan kesediaan para pekerja untuk selalu “update status”,
merupakan prasyarat untuk suatu inventory yang lengkap dan berdaya guna.
3. Flexible
Workhours,
Salah
satu ciri knowledge worker adalah mereka mengerjakan tugasnya tidak terbatas
ketika berada di dalam organisasi. Dalam satu fakultas, tentu saja SDM yang ada
lebih banyak masuk dalam kategori ini. Oleh karena itu, organisasi harus
merancang suatu jam kerja fleksibel yang tepat. Jam kerja fleksibel bukan
berarti bahwa mereka tidak ada kewajiban untuk berada di lingkungan fisik
organisasi tapi lebih ke pengaturan jam kerja minimalnya. Perlu diperhatikan
bahwa fleksibel tidak berarti mereka tidak mempunyai jam pasti di dalam
organisasi tetapi mereka dapat menyusun sendiri pemenuhan jam minimalnya dengan
tetap dikoordinasikan dan disetujui organisasi. Dengan demikian, organisasi
harus memungkinkan adanya perbedaan jam kerja bagi anggotanya.
Anggota organisasi yang tidak masuk
dalam kategori knowledge worker pun tampaknya tidak dapat menghindari
pengaturan jam kerja fleksibel. Berdasarkan kenyataan bahwa jam operasional
Fakultas Bisnis (kecuali Sabtu) umumnya mencapai 14 jam per hari, adalah tidak
mungkin mengharapkan prima dari anggota organisasi yang “ketiban sampur” lembur
pada hari itu. Pengaturan dengan membagi
menjadi 2 shift tugas harus dilakukan kalau tidak mau dianggap melakukan
eksploitasi tenaga kerja atau didemo pelanggan karena layanan “seadanya” yang
mereka peroleh.
Penutup
Akhir-akhir ini, ada teman saya yang
selalu berteriak: “kita harus mengupayakan bisnis yang unusual!” Ya, mungkin
karena dia termasuk yang merasa “gerah” akan praktek bisnis yang kebanyakan
(usual). Apakah Anda pun ikut “gerah”? Kalau ya, mari kita mulai bersama-sama
mulai membenahi mulai dari laboratorium bisnis kita, Fakultas Bisnis UKWMS,
sebelum “kegerahan” itu akhirnya hilang karena tubuh kita telah nyaman dihembus
angin “masa bodoh” dan dikipasi oleh “itu bukan tanggung jawab saya”. Akhir
kata, kembali ke orang Romawi kuno: Nomen est Omen, Nama adalah Beban/tanggung
jawab. Tapi sebagaimana beban pada umumnya tentu akan jauh lebih ringan dan
lebih mudah dipikul ketika dipikul bersama-sama. Keterlibatan semua anggota
organisasi akan lebih memungkinkan perubahan nama Fakultas menjadi Fakultas
Bisnis tidak akan sekedar perubahan nama belaka.
Rujukan
Becton,
J. Bret, & Mike Schraeder. 2009.
Strategic Human Resources Management: Are we there yet? The Journal for Quality and Participation, 31
(4): 11-18
Chang,
Wan-Jing April, & Tun Chung Huang. 2005. Relationship between Strategic
Human Resources Management and Firm Performance. International Journal of
Manpower, 26 (5): 434-449
Chuang,
Chih-Hsun & Hui Liao. 2010. Strategic Human Resources Management in Service
Context: Taking Care of Business by Taking Care Employees and Customers.
Personnel Psychology, 63: 153-196
Hassan,
Morsheda, Abdala Hagen & Ivan Daigs. 2006. Strategic Human Resources as
Strategic Weapon for Enhacing Labour Productivity: Empirical Evidence. Academy
of Strategic Management Journal, 5: 75-96
Kaye,
Leah. 1999. Strategic human resources management in Australia: the human cost.
International Journal of Manpower. 20 (8): 577-587
Lepak,
David P., & Scott A. Snell. 1999. The human resource architecture: toward a
theory of human capital allocation and development. Academy of Management
Review. 24 (1): 31-48
Pfeffer,
J. 1995. Producing sustainable competitive advantage through the effective
management of people. Academy of
Management of Executive. 19 (1):
55-72.
Whang,
Dang-Shang & Chi-Li Shyu. 2008. Will the Strategic Fit between Business and
HRM Strategy Influence HRM Effectiveness and Organizational Performance?.
International Journal of Manpower, 29 (2): 92-110
Wattanasupachoke,
Teerayout. 2009. Strategic Human Resource Management and Organizational
Performance: A Study of Thai Enterprises. Journal of Global Business Issues, 3(2):
139-148
BAHAN
DISKUSI:
Artikel
di atas ditulis dalam rangka menyambut perubahan Fakultas Ekonomi UKWMS menjadi
Fakultas Bisnis. Setelah membaca artikel tersebut, manakah konsep-konsep pengelolaan SDM yang dipakai penulis
dalam artikel tersebut yang menarik atau masih membingungkan bagi Saudara? Jelaskan mengapa Saudara berpendapat demikian.
CATATAN:
Hal-hal
seputar perubahan nama fakultas tidak perlu dibahas tapi diskusi terbatas pada
konsep-konsep pengelolaan SDM yang muncul dalam tulisan tersebut. Selamat
Berdiskusi